Minggu, 17 Mei 2009

Indonesia Bertekad Lindungi 20 Juta Hektare Lautnya

Manado (ANTARA News).

Pemerintah Indonesia akan melindungi 20 juta hektare wilayah lautnya di seluruh Indonesia pada 2020, demikian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pembukaan KTTB Inisiatif Segitiga Terumbu (Coral Triangle Initiative/CTI) di Manado, Jumat pagi.

"Perlindungan kawasan laut itu akan diberlakukan dengan ketat dan didanai," katanya.

Menurut Presiden, dalam tiga tahun mendatang pemerintah Indonesia akan mencari upaya meningkatkan dana nasional untuk program khusus pada rencana aksi CTI kawasan.

Presiden berjanji bahwa Pemerintah Indonesia akan mengalokasikan dana lima juta dolar AS untuk program CTI dan akan menandatangani dekrit presiden untuk membentuk komite nasional tingkat menteri yang akan bertemu rutin untuk membahas penerapan CTI.

Komitmen Indonesia untuk sungguh-sungguh melestarikan lautnya juga diwujudkan melalui penandatanganan Savu Sea National Marine Fisheries Sanctuary yang meliputi wilayah seluas 3,9 hektar di perbatasan Indonesia - Timor Leste.

Sebelumnya Indonesia menargetkan menciptakan kawasan laut terlindungi seluas 13,4 juta hektare, lebih luas dari target beberapa tahun lalu yaitu 10 juta hektare pada 2010.

Selain Yudhoyono, KTTB CTI juga dihadiri lima kepala negara/pemerintahan, yaitu Presiden Filipina Gloria M. Arroyo, PM Malaysia Najib Razak, PM Kepulauan Solomon Derek Sikua, PM Papua Nugini Michael Somare dan Presiden Timor Leste Ramos Horta.

Enam negara yang berada di wilayah seluas 5,7 juta km persegi ini sepakat berkoordinasi dalam melindungi sumber daya kelautan.

Dengan luas yang hanya dua persen dari lautan di dunia, Segitiga Terumbu Karang memiliki 76 persen dari spesies karang yang sudah diketahui dan beragam ikan.

Lebih dari 120 juta orang secara langsung bergantung kepada karunia yang disediakan lautan di wilayah itu, namun sumberdaya berharga itu sekarang terancam perubahan iklim, pengambilan ikan berlebihan, perikanan ilegal, pembangunan pesisir yang tidak berkelanjutan dan pencemaran.

Semua ancaman ini mengakibatkan berkurangnya persediaan ikan, hilangnya bakau dalam skala besar dan degradasi sistem terumbu karang.

Keenam negara menjawab tantangan itu dengan menyetujui pengembangan rencana aksi untuk inisiatif baru itu dan dalam beberapa tahun ke depan akan bekerjasama untuk melaksanakan strategi kawasan konservasi laut, pengelolaan kelautan yang berkelanjutan, perlindungan spesies terancam punah dan adaptasi perubahan iklim. (*)

COPYRIGHT © 2009

INDONESIA DETERMINED PROTECT 20 MILLION HECTARES MARINE

The Government of Indonesia will protect 20 million hectares in all marine areas of Indonesia in 2020, so President Susilo Bambang Yudhoyono in a speech opening KTTB Initiative Segitiga Terumbu (Coral Triangle Initiative / CTI) in Manado, Friday morning.

"The protection area of the sea that will be applied with strict and funded," he said.

According to the President, in three years, the Indonesian government will seek a national effort to increase funding for special programs on the action plan CTI area.

The President pledged that the Government of Indonesia will allocate funds five million U.S. dollars for the CTI program and will sign a presidential decree to establish a national-level ministerial committee which will meet regularly to discuss the application of the CTI.

Indonesia's commitment to seriously conserve marine also realized through the execution Savu Sea Fisheries National Marine Sanctuary which includes the area of 3.9 hectares on the border Indonesia - Timor Leste.

Previous Indonesia targets to create marine protected areas covering 13.4 million hectares, more knowledgeable of the target a few years ago that 10 million hectares in 2010.

Besides Yudhoyono, KTTB CTI also attended the five-state / government, the Philippine President Gloria M. Arroyo, Malaysian PM Najib Razak, the Solomon Islands PM Derek Sikua, PM Michael Somare of Papua New Guinea and Timor Leste President Ramos Horta.

Six countries in the region of 5.7 million square kilometers agree coordinate in protecting marine resources.

With a knowledgeable only two percent of the ocean in the world, Segitiga Coral Reefs have 76 percent of the coral species that are known and a variety of fish.

More than 120 million people directly depend on the bounty of the sea in that region, but the valuable resources that now threatened by climate change, over-fishing, illegal fishing, coastal development is not sustainable and pollution.

All this resulted in decreasing the threat of supply of fish, loss of mangroves in the large-scale systems and coral reef degradation.

The six countries with the challenges that the development of agreed action plans for new initiatives and in the next few years will work to implement the strategy area marine conservation, sustainable management of marine resources, protection of endangered species and adaptation to climate change. (*)

COPYRIGHT © 2009

Kerusakan Karang Mencemaskan

Kompas, Senin, 23 Februari 2009 | 00:45 WIB
Akibat penggunaan bom ikan di sejumlah wilayah, kerusakan koral atau terumbu karang di Indonesia sudah berada dalam kondisi mencemaskan. Padahal, hamparan terumbu karang di Indonesia yang mencapai 60.000 kilometer persegi termasuk yang terluas di dunia.

Untuk memulihkan kembali terumbu karang yang rusak, Pemerintah Australia menegaskan kembali dukungannya membantu Indonesia dalam menyelamatkan terumbu karang melalui program pelatihan rehabilitasi dan pemantauannya.

Dengan melestarikan terumbu karang di kawasan Indonesia, maka secara tak langsung akan terjaga pasokan sumber daya perikanan dan biota laut lain yang bernilai ekonomis. Diketahui kelautan Indonesia menyimpan potensi kemanfaatan yang beragam, terutama sebagai sumber pangan, obat, dan kosmetik.

Hal ini disampaikan Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Indroyono Soesilo, Sabtu (21/2), terkait dengan kehadirannya dalam konferensi ”Indonesia-Australia: Partners in a New Era” di Sydney, Australia.

Menurut Indroyono yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Australia berkepentingan turut menjaga kelestarian ekosistem laut di Indonesia, antara lain karena melihat lokasi laut Nusantara menjadi tempat berpijah ikan tuna yang ditangkap di wilayah perairan Australia.

Dalam upaya pelestarian tersebut, Pemerintah Australia memberikan dukungan teknis tentang cara pengelolaan terumbu karang yang benar seperti yang dilaksanakan di Great Barrier Reef.

Selain Australia, kata Indroyono, perhatian atas penyelamatan terumbu karang Indonesia diberikan Amerika Serikat. Ketika bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton menyampaikan komitmennya.

Dukungan WOC

Secara terpisah, di Manado, Wakil Ketua Simposium Panitia World Ocean Conference (WOC) Desy Mantiri mengatakan, sekitar 1.500 pakar kelautan negara- negara Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan Australia menyatakan siap berpartisipasi pada Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, pada Mei mendatang.

Desy mengatakan, antusiasme ilmuwan dunia diukur dengan masuknya 610 abstrak dari para ilmuwan ke panitia di Manado dan Jakarta. ”Kemungkinan abstrak mengenai kelautan akan bertambah pada Maret mendatang,” katanya.

Menurut Desy, panitia berupaya agar setiap abstrak mendapat kesempatan dipresentasikan pada pelaksanaan WOC yang dijadwalkan berlangsung lima hari. Panitia telah mengklasifikasi 610 abstrak dalam beberapa bidang simposium untuk dibahas dalam waktu bersamaan.

Sekretaris eksekutif panitia daerah WOC, Noldy Tuerah, mengatakan, persiapan Sulut menjadi tuan rumah WOC dan pertemuan tingkat tinggi enam negara anggota CTI sudah 85 persen.

Tuerah menjelaskan, di Manado terdapat lima gedung konperensi yang telah siap dipakai untuk simposium. Menurut dia, pelaksanaan WOC mendapat dukungan dari Direktur Eksekutif UN Habitat Anna Tibaijuka dan Direktur Eksekutif United Nations Environment Programme Achim Steiner. (YUN/ZAL)


CORAL DAMAGE FEARS

As a result of a number of bombs in many area, coral reefs damaged in Indonesia are already in a condition worrisome. In fact, coral reefs in Indonesia that reached 60,000 square kilometers and one of the most huge area in the world.

To restore the damaged coral reefs, the Australian Government reaffirms support to help save Indonesia's coral reef rehabilitation through training programs and monitoring.

Preserve the coral reef area in Indonesia, then a hint akan awake supply fishery resources and marine biota in the economic value. Indonesia is known maritime power saving potential of a diverse, mainly as a source of food, drugs, and cosmetics.

This was Secretary of the Coordinating Minister for People's Welfare Indroyono Susilo, Saturday (21 / 2), associated with the presence in the conference "India-Australia: Partners in a New Era" in Sydney, Australia.

ccording Indroyono also a former Head of Marine and Fisheries Research Ministry of Marine and Fisheries, Australia stakeholders participated in maintaining the sustainability of ecosystems in the sea, such as the location to see the sea into archipelago where tuna spawn in the area arrested the Australian waters.

In conservation efforts, the Australian Government to provide technical support on the management of coral reefs such as the right which was held in the Great Barrier Reef.

In addition to Australia, said Indroyono, attention on the coral reef rescue Indonesia provided the United States. When meeting with President Susilo Bambang Yudhoyono, Foreign Minister of the United States Hillary Clinton, his commitment.

Supporting of WOC

Separately, in Manado, Vice Chairman of the Symposium Committee of the World Ocean Conference (WOC) Mantiri Desy, said around 1,500 sciencetist from maritime countries of Europe, America, Africa, Asia, Australia and the states ready to participate in the World Maritime Conference (WOC) in Manado, North Sulawesi, in the upcoming May.


Desy said, enthusiasm is measured with the scientists of the world insertion of 610 abstracts from scientists to the committee in Manado and Jakarta. "The likelihood of the oceanic abstract akan future increases in March," he said.

According to Desy, so that the committee working to get the opportunity every abstract presented at the WOC the scheduled execution took place five days. Committee has been classifying abstract 610 in some areas discussed in the symposium for the same time.

Secretary of the executive committee WOC, Noldy Tuerah, said, Sulut preparation to host the WOC and the high-level meeting in six member countries have 85 percent CTI.

Tuerah explain, in Manado conference there are five buildings that have been ready to be used for symposiums. According to him, the implementation of the WOC support from UN Habitat Executive Director Anna Tibaijuka and the Executive Director of the United Nations Environment Program Achim Steiner. (Yun / ZAL)

Sabtu, 02 Mei 2009

Fishing Industry Losing Billions to Foreign Raiders

Eliswan Azly/Antara

April 6, 2009
In the run-up to the upcoming World Ocean Conference in Manado, North Sulawesi Province, Indonesia has been urged to make use of the event to ask other countries to stop illegal, unregulated and unreported fishing.

“The government should make use of the opportunity to secure a commitment against illegal fishing,” Riza Damanik, secretary general of the People’s Coalition for Fishery Justice, told a press briefing.

Riza said the government had to abandon its risky diplomacy of expecting aid funds for the rehabilitation of coral reefs to fight global warming.

The government, Riza said, needs to act wisely by making use of the WOC on May 11-15 to demand other countries stop poaching in Indonesia.

In the past decade, fishing vessels from 10 countries had been caught poaching in Indonesian waters, including from Thailand, Vietnam, the Philippines, Korea, China, Taiwan, Panama, Burma and Malaysia.

“The crisis in our seas is related to [fishing] crimes committed in the seas. Because of illegal fishing we have lost 50 percent of our marine resources,” Riza said, without mentioning a source for his figures.

‘It’s our water and our fish, but we’re losing out. It’s ridiculous.’ said Sarwono Kusumaatmadja, former maritime minister

The chairman of the Anti-Debt Coalition, Dani Setiawan, said Indonesia must be able to control its territorial waters.

The country must not use the WOC to seek foreign loans related to climate change issues because he feared that would make the country lose control of its seas, he said.

Aji Sularso, the director general of supervision and control of marine resources and fishery, said earlier that most vessels conducting illegal fishing in the country’s waters were from Thailand and Vietnam.

Earlier, former Minister of Maritime Exploration Sarwono Kusumaatmadja said illegal fishing by foreigners in Indonesian waters had cost the country an estimated $4 billion in revenue every year.

Sarwono noted that foreigners were getting more of Indonesia’s maritime resources than Indonesians themselves, as the country only earned some $2.2 billion from its fishing sector.

“It’s our water and our fish, but we’re losing out. It’s ridiculous,” he said.

More tragic, Aji said, was that the poachers have shown no fear of Indonesian patrols, which were either outnumbered or poorly armed.

“Illegal fishermen show no respect for our national law. A shoot-and-sink policy should be part of a show of force to deter them,” Aji said.

He said illegal fishing was out of control and was “threatening Indonesia’s economic and territorial sovereignty.”

The Indonesian government has been criticized for being “too lenient” in allowing Filipino fishermen to repatriate and reunite with their families. They would usually give one of two reasons for doing so — humanitarian reasons or a lack of funds to provide basic needs and shelter.

Meanwhile, hundreds of confiscated foreign fishing vessels are now crowding dozens of seaports across the country. They are corroding, if not sinking, while waiting for legal processing.

Antara

Senin, 06 April 2009

Tak Bicarakan Hukum, WOC dan CTI Dinilai Tak akan Berguna (Hery Winarno - detikNews)

akarta - Pertemuan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) yang akan berlangsung di Manado 11-15 Mei mendatang diperkirakan tidak akan ada gunanya. Berkaca pada pertemuan serupa di Papua Nugini beberapa waktu lalu, Indonesia tetap tidak bisa memiliki kedaualatan maritim.

"Pertemuan tersebut tidak lebih dari sekedar pesta. Karena tidak mengingkat secara hukum," ujar Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M Riza Damanik saat diskusi publik di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Jumat (3/4/2009).

Riza mengatakan, setelah pertemuan di Papua Nugini, hingga kini perlindungan pemerintah terhadap nelayan tradisional masih sangat lemah. "Nelayan tradisional kita banyak yang ditahan di Australia. Kapalnya dihancurkan tetapi tidak sebaliknya," tambah Riza.

Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga tidak akan dibicarakan mengenai pencemaran laut. Hingga saat ini pembuangan 'tailing (limbah pertambangan) masih terus berlangsung oleh pertambangan asing.

"Tiap harinya 340 ribu ton tailing dibuang oleh Freeport dan Newmont," tambah anggota Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maemunah saat diskusi.

Pencurian ikan juga masih marak diperairan Indonesia yang dilakukan oleh sepuluh negara. "Thailand, Vietnam, Fhilipina, Korea, Taiwan, Cina, Malaysia, Kamboja Myanmar dan Panama harus juga ikut agar bisa diselesaikan msalah pencurian ikan," jelas Riza.

Enam Lembaga Swadaya Masyarakat (KIARA, WALHI, JATAM, IHI, COMMIT dan KAU) yang menyelenggarakan diskusi tersebut pun mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan penyelamatan maritim Indonesia.

"Pemerintah harus membuat langkah-langkah diplomasi yang cerdas untuk menghentikan praktek kejahtan perikanan," tegas Riza.

(her/ken)


ENGLISH VERSION

Jakarta - Meeting the World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative (CTI), which will be held May 11-15 in Manado estimated future there will be no use. Look in the past time at a similar meeting in Papua New Guinea some time ago, Indonesia still can not have sovereignty of maritime.

"The meeting is not more than just a party. Because not legally binding," said Secretary General of People's Coalition for Justice Fisheries (KIARA) M Riza Damanik during public discussion at the Board of Building, Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, Jumat (3/4/2009 ).

Riza said, after meeting in Papua New Guinea, up to now the government protection of traditional fishing is still very weak. "Fishermen traditionally hold a lot of us in Australia. Ship was destroyed, but not vice versa," added Riza.

In addition, in the meeting also will not be talking about the pollution of the sea. To this disposal 'tailing (waste mining) are still held by foreign mining.

"Every day, 340 thousand tons of tailing removed by Newmont and Freeport," added Advocacy Network members Tambang (JATAM) Siti Maemunah during the discussion.

Theft of fish are still in the high seas of Indonesia conducted by ten countries. "Thailand, Vietnam, Fhilipina, Korea, Taiwan, China, Malaysia, Cambodia, Myanmar and Panama must also be completed in order to fish msalah theft," said Riza.

Six NGOs (KIARA, WALHI, JATAM, IHI, and commit Kau), which is also holding discussions urged the government to make Indonesia maritime rescue policies.

"The government must make the steps that smart diplomacy to stop the evil practice of the fishery," Riza firm.

(her / ken) Hery Winarno/detiknews

Minggu, 05 April 2009

Tanggapan Kiara soal WOC

Oleh Muhamad Karim, Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Kepentingan Nasional RI di WOC*


Sebentar lagi World Ocean Conference (WOC) akan berlangsung di Manado
(11-15 Mei 2009). Dalam diskusi di Sinar Harapan 25 Maret 2009, Robert
Mangindaan, Ketua Forum Pengkajian Pertahanan dan Maritim, mengajukan
sebuah pertanyaan, pesan politik apa yang akan kita bawa di WOC? Forum
yang akan diikuti 121 negara dan telah mendapatkan dukungan Amerika
Serikat, Jepang, Uni Eropa dan Australia ini jelas memiliki kepentingan
politik biarpun dibungkus isu perubahan iklim. Ada tiga agenda besar
yang saling bertautan di Manado, yaitu WOC, Coral Triangle Inisiative
(CTI) dan Fleet Review (Agustus 2009).

Pertama
Kawasan segitiga terumbu karang itu mencakup Indonesia, Papua Nugini, Filipina,
Timor Leste, Malaysia, Solomon, Australia. Kawasan ini diperkirakan
mampu mengatasi masalah perubahan iklim global dan menyerap karbon. Di
sini Indonesia memegang banyak keunggulan. Pertama, kawasan Indonesia
di lepas pantai maupun daratan kepulauannya memiliki sumber daya minyak
dan gas yang berlimpah. Amerika Serikat dan Uni Eropa berkepentingan
dengan WOC. Sebab, pelbagai perusahaan pertambangan multinasional
mereka beroperasi di kawasan CTI. Celakanya, perusahaan-perusahaan itu
diduga keras membuang limbah ke laut sekitar 3.000 ton per tahun.



Kedua,
kawasan CTI memiliki sumber daya perikanan melimpah jenis pelagis
besar. Perairan Arafura, Aru, Halmahera, Banda, Laut Flores, Laut
Sulawesi sampai Samudera Pasifik adalah jalur migrasi ikan tuna dunia.
Hasil riset terbaru, perairan bagian barat Pulau Sumbawa termasuk
fishing ground ikan tuna. Forum WOC juga mengagendakan ikan tuna.
Bukankah ikan tuna tergolong migratory species yang tak ada kaitannya
dengan terumbu karang? Para ilmuwan mengaitkannya dengan penggunaan BBM
dalam operasi penangkapan tuna yang meningkatkan emisi CO2.
Ajang bagi Indonesia

Dr Raymond Tan dari Center for Engineering Sustainable Development and
Research, De La Salle University, Filipina, menyimpulkan (2008), total
carbon footprint sebesar 51% bersumber langsung dari operasi
penangkapan ikan. Laporan FAO 2008 menyebutkan rasio rata-rata
penggunaan bahan bakar dengan emisi CO2 dalam kegiatan perikanan
tangkap yaitu 3 teragram CO2 per satu juta ton bahan bakar yang
dipergunakan. Kedua justifikasi ini mengindikasikan seolah-olah
aktivitas perikanan tuna menghasilkan emisi karbon sehingga perlu
diatur dalam kesepakatan internasional. Atau, negara maju (misal
Amerika Serikat) ingin ikut mengatur perdagangan tuna jenis Southern
Bluefin Tuna (SBT) yang harganya “amat mahal” karena selama ini hanya
dikendalikan Jepang, Australia dan Selandia Baru dalam Commission for
Conservation Southern Bluefin Tuna (CCSBT)?
Ketiga,
kawasan ini merupakan kawasan terumbu ka-rang yang tersubur di dunia
selain Great Barrier Reef di Australia (penutupan karang >50%). Di
CTI akan ditetapkan kawasan konservasi laut (KKL) sampai seluas 10 juta
hektare di tahun 2010. Saat ini baru mencapai 5.370.026 hektare (54%),
yang dari luasan itu Indonesia mencakup 4.787.367 hektare (89,15%).
Ke empat,
kawasan ini berlokasi pulau-pulau kecil (PPK) strategis untuk pangkalan
militer, seperti Morotai, Biak, Buru, Miangas dan Banda. Fleet Review
(FR) yakni pamer kekuatan angkatan laut berlangsung dekat Taman Laut
Bunaken yang juga memiliki PPK. Apa ini ada kaitannya dengan agenda
keamanan laut di Pasifik (Maritime Security)? Atau, Amerika Serikat
mengincar salah satu pulau kecil di CTI Indonesia untuk pangkalan
militernya. Atau, mengamankan kepentingan oligopoli/oligopsoni dari
Jepang, Australia dan Selandia Baru atas perikanan Southern Bluefin
Tuna (SBT) yang fishing ground-nya di pantai selatan Pulau Jawa, Bali,
NTB dan perairan Australia.



WOC sejatinya menjadi ajang bagi Indonesia melahirkan political message
yang bermanfaat bagi kepentingan nasionalnya. Pertama, tentang illegal
fishing. WOC bisa dijadikan tempat bagi Indonesia meminta kesepakatan
yang mengikat untuk “menghentikan” aktivitas illegal fishing di
perairan Indonesia maupun kawasan CTI. Kedua, membangun kesepakatan
dengan negara maju yang memiliki perusahaan pertambangan untuk
menghentikan pembuangan limbahnya di lautan yang bisa mematikan terumbu
karang, memupus populasi ikan dan biota laut, serta merusak ekosistem
pantai.



Pertanggungjawaban Negara Maju

Ketiga, momentum untuk memastikan keselamatan nelayan Indonesia.
Pasalnya, di Australia dan Filipina, nelayan kita kerap ditangkap
dengan alasan melanggar batas Zona Ekonomi Eksklusifnya. Padahal, hukum
laut internasional (UNCLOS) membolehkan nelayan tradisional menangkap
ikan di mana pun di dunia. Problemnya, ada perbedaan terminologi
“nelayan tradisional” versi Australia dan Indonesia. Indonesia perlu
menarik kedua negara tetangganya itu untuk bersepakat tentang kategori
nelayan tradisional yang sesuai UNCLOS 1982.



Keempat, forum WOC menjadi ajang bagi Indonesia untuk menaikkan
posisinya dalam organisasi perdagangan tuna sirip biru (Commission for
Conservation Southern Bluefin Tuna, CCSBT) dan organisasi tuna
internasional (Indian Ocean Tuna Commission). Pasalnya dalam CCSBT, (i)
Indonesia hanya sebagai peninjau belum menjadi anggota penuh; (ii)
fishing ground SBT sampai di pantai selatan Jawa, Bali dan NTB, dan
(iii) Indonesia dianggap sebagai unregulated countries dalam perikanan
SBT di mana 2006 melebihi kuota; (iv) Jepang, Australia dan Selandia
Baru sudah menguasai perikanan SBT sejak tahun 1960-an.

Kelima, menuntut pertanggungjawaban negara-negara maju (Amerika
Serikat, China dan Uni Eropa) sebagai penyumbang terbesar dalam
peningkatan emisi CO2 di bumi. Mereka tak hanya memaksa negara
berkembang memperluas kawasan konservasi lautnya dengan iming-iming
kucuran dana US$ 250 juta dalam skema CTI. Melainkan, mereka wajib
menurunkan emisi karbonnya dan masuk skema Protokol Kyoto.



Di Indonesia, tekanan yang “berjubah” konservasi ini sudah dimulai di
Selat Pantar, Kabupaten Alor akibat perluasan KKL dari 48.004,4 hektare
menjadi 400.008,3 hektare (naik 88%) yang terumbu karangnya 3.331,007
hektare (Kompas, 24 Maret 2009). Perluasan KKL berpotensi meminggirkan
nelayan tradisional dan tak menjamin akan mampu menurunkan emisi
karbon. Makanya, negara-negara maju harus mau mengurangi emisi
karbonnya, dan tak membebankannya kepada negara-negara berkembang
dengan dalih konservasi maupun warisan dunia (world heritage).



Kolonialisme baru datang bersenjatakan “konservasi” dan “perubahan
iklim”, di baliknya membonceng kepentingan ekonomi untuk mendapatkan
minyak, gas, dan sumber daya mineral lainnya di lautan, tuna sirip biru
dan pariwisata bahari. Sekaligus memperkuat hegemoni politiknya di
kawasan Asia Pasifik.

Interests of the Republic of Indonesia in the WOC

Moment World Ocean Conference (WOC) will be held in Manado
(11-15 May 2009). In discussions on the Sinar Harapan 25 March 2009, Robert
Mangindaan, Chairman of the Study of Defense and Maritime forum, ask
a question, what political message that we will take in the WOC? Forum
will be followed the 121 countries and has support United States
States, Japan, EU and Australia have this clear
political issue is whether climate change. There are three major agenda
that each mesh in Manado, the WOC, the Coral Triangle Inisiative
(CTI) and the Fleet Review (August 2009)

1. Coral reef area of the triangle that includes Indonesia, Papua New Guinea, Philippines,
Timor Leste, Malaysia, Solomon, Australia. This region is estimated
able to overcome the global problem of climate change and to absorb carbon. In
Indonesia held here many advantages. First, the area of Indonesia
in the mainland and offshore islands
have the resources of oil
and abundant gas. United States and EU stakeholders
with WOC. For many multinational companies
they operate in the area of CTI. Unfortunately, companies that
alleged discard waste into the sea around 3000 tons per year.
2. CTI area has abundant fishery resources pelagic species
big. Arafura seas, Aru, Halmahera, Banda, Flores Sea, the Sea
South to the Pacific Ocean is tuna migration routes of the world.
Latest research results, the western part of the island of Sumbawa, including
tuna fishing ground. Forum WOC also plan tuna issues.
The tuna are migratory species that have no relation
with coral reefs? Scientists to the use of fuel
catching tuna in the operation of increasing CO2 emissions.

Dr Raymond Tan of the Center for Engineering and Sustainable Development
Research, De La Salle University, Philippines, concluded (2008), total
carbon footprint as much as 51% comes directly from the operating
fishing. FAO's 2008 report said the ratio of average
the use of fuel with CO2 emissions in the fishery
catching the 3 teragram CO2 per one million tons of fuel
used. This second justification seems
tuna fishing activities generate carbon emissions so that the necessary
stipulated in international agreements. Or, developed countries (eg
United States) want to participate in trade set out the type of Southern
Bluefin Tuna (SBT) that are "very expensive" because there is only
is Japan, Australia and New Zealand in the Commission for
Conservation Southern Bluefin Tuna (CCSBT)?

3. This area is a coral reef area of the most fertile in the world
than the Great Barrier Reef in Australia (coral closure> 50%). In
CTI moment will be setted around 10 million
hectares Marine manage area in 2010. When this new reach 5,370,026 hectares (54%),
the area of Indonesia that covers 4,787,367 hectares (89.15%).

4. This area is located in the small islands (KDP) is a strategic base for
military, such as Morotai, Biak, Buru, Banda and Miangas. Fleet Review
(FR) show the strength of the navy took place near the Sea Garden
Bunaken is also home to KDP. What is there relation to the issue
security in the Pacific sea (Maritime Security)? Or, United States
plan a small island in Indonesia for a base CTI
militernya. Or, secure the interests of oligopoli / oligopsoni from
Japan, Australia and New Zealand on the Southern Bluefin fishery
Tuna (SBT) that its fishing ground in the south coast of Java, Bali,
NTB and Australian seas.


WOC should be a place for the political message delivered Indonesia
useful for the national interest. First, about the illegal
fishing. WOC can be used as a place to request an agreement for Indonesia
binding to "stop" illegal fishing activities in the
waters of Indonesia and the CTI. Second, build consensus
with developed countries that have mining companies for
stop the waste disposal in the ocean that can kill coral reefs, the fish population and marine biota, and damage to ecosystems
beach


Responsibility of Developed country

Third, the momentum to ensure the safety of Indonesian fishermen.
Section, in Australia and the Philippines, we are often fishermen arrested
for reasons in violation of Exclusive Economic Zone boundary. In fact, (UNCLOS) to allow traditional fishermen to catch
fish anywhere in the world. but the problem, there are differences in terminology
"Traditional fishing" version of Australia and Indonesia. Indonesia invite the two countries agreed to the neighbors about the category
traditional fishermen who according UNCLOS 1982

WOC event became a forum for indonsia to increase
position in the organization of trade in blue fin tuna (Commission for
Conservation Southern Bluefin Tuna, CCSBT) and the organization tuna
international (Indian Ocean Tuna Commission). Section of the CCSBT, (i)
Indonesia only as a bystander not become full members, (ii)
SBT fishing ground to the south coast of Java, Bali and West Nusa Tenggara, and
(iii) considered Indonesia as countries in the unregulated fishery
SBT in 2006 which exceeds the quota, (iv) Japan, Australia and Zealand
New is the SBT fishery since the 1960s.

questioned the developed countries (United States
States, China and the European Union) as the largest contributor in
increase in CO2 emissions in the earth. They not only force the country
developed to expand the marine conservation area iming-iming
kucuran funds of U.S. $ 250 million in the scheme's CTI. Instead, they must
karbonnya reduce emissions and the Kyoto Protocol signed in the scheme.

In Indonesia, the pressure of "berjubah" conservation is already started in
The Pantar, Alor Regency due to the expansion of 48,004.4 hectares KKL
become 400,008.3 hectares (up 88%) of Terumbu karangnya 3331.007
hectares (Kompas, 24 March 2009). KKL expansion has the potential
traditional fishermen and no guarantee will be able to reduce emissions
carbon. Hence, developed countries would have to reduce emissions
karbonnya, and not to the burden of developing countries
with the pretext of conservation and world heritage (world heritage).

Colonialism new weapons come new "conservation" and "change
climate ", in the interest of economic baliknya hitchhike to get
oil, gas, and mineral resources in the ocean, blue fin tuna
and nautical tourism. At the same time strengthen the political hegemony in
Asia-Pacific region.