Sabtu, 27 Juni 2015

TN Taka Bonerate Resmi Menjadi Cagar Biosfer Dunia


Atol Taka Gantarang di Taka Bonerate
UNESCO - PBB menetapkan 20 Cagar biosfer baru di dunia sehingga total ada 651 Cagar Biosfer yang telah disahkan. 20 Cagar Biosfer baru tersebut diresmikan dalam sebuah serial meeting yang adakan di Paris pada tanggal 8 - 12 Juni 2015. Dari 20 Cagar Biosfer baru, Indonesia memiliki Cagar Biofer baru yaitu Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan Taman Nasional Taka Bone - Kepulauan Selayar.

Taman Nasional Taka Bonerate - Kepulauan Selayar terletak di Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan, dipilih menjadi salah satu Cagar Biosfer terbaru dengan luas total cagar Biosfer 4,410736 Ha. Lusan tersebut meliputi luasan Taman Nasional Taka Bonerate seluas 530.765 dan wilayah kepulaun Selayar lainnya.

Taman Nasional Taka Bonerate dan Kepulauan Selayar dipilih menjadi salah satu Cagar biosfer karena memiliki ekosistem penting dan habitat untuk organisme baik di darat maupun di lautan seperti ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang, hutan hujan tropis dan hutan pantai. Karakter unik yang ada di Taman Nasioanal Taka Bonerate adalah Atol terbesar ke tiga di dunia dan spesies unitk lainya seperti paus, lumba-lumba dan salah satu mamalia terkecil yaitu Tarsius tarsier. Keanekaragaman hayati tersebut menjadi penyanga kehidupan, habitat organisime didalammnya. 

Tarsius tarsier salahsatu mamalia terkecill 

Menurut UNESCO, Cagar Biosfer adalah kawasan daratan dan ekosistem pantai/laut atau kombinasi keduanya, yang secara internasional dikenal dalam skema kerja program Man and Biosphere (MAB) UNESCO dalam rangka konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan sosial ekonomi serta memelihara nilai budayanya.


Sedangkan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE pasal 1 ayat 12 disebutkan bahwa Cagar Biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.


Harapannya dengan disahkannya Taman Nasional Taka Bonerate dan Kepulauan Selayar menjadi Cagar Biosfer dunia, mampu meningkatkan pelestarian keanekaragaman biologi dan budaya. Selain itu juga memperkuat model pengelolaan kawasan dan ekosistem untuk pembangunan berkelanjutan dan menyediakan tempat untuk penelitian, pendidikan dan pelatihan. 



Jumat, 26 Juni 2015

Cuaca Perairan Indonesia Hari Ini

Peta Gelombang dari tanggal 27 Juni 2015 pukul 07:00 - 19:00 WIB . (Sumber: BMKG)

Saat ini Indonesia memasuki angin musim timur, dimana angin bergerak dari Angin di atas wilayah Perairan Indonesia, di Utara Khatulistiwa umumnya bertiup dari Selatan sampai Barat dan di Selatan Khatulistiwa umumnya bertiup dari arah Tenggara sampai Barat Daya dengan kecepatan angin berkisar antara 3 sampai 25 knot. Wilayah Indonesia yang berada di bagian selatan khatulistiwa, angin bergerak dari arah Selatan, Tenggara dan timur. Sedangkan untuk wilayah Indonesia yang berada di Bagian Utara Khatulistiwa angin bergerak dari arah Selatan dan barat.

Memasuki minggu ke 3 pada bulan juni 2015, sejumlah wilayah perairan berpeluang terjadi  pertumbuhan awan dan hujan disertai Badai Guntur dapat terjadi di Laut Andaman, Perairan Kep. Sangihe Talaud dan Samudera Pasifik Utara Halmahera dan Utara Papua.


Gelombang di sejumlah perairan Indonesia sangat beragam, berkisar 0.5 - 5 meter.  Perairan di Indonesia Timur bagian selatan menghadapi cuaca yang cukup buruk, dimana angin bergerak cukup kencang dan membangkitkan gelombang yang cukup tinggi. Sementara perairan Indonesia di bagian Utara Khatulistiwa angin bergerak lebih rendah dan gelombag yang relatif lebih rendah.

Gelombang Laut dengan tinggi 2.0 meter s/d 3.0 meter berpeluang terjadi di : Perairan Aceh, Perairan pulau Enggano, Perairan Selatan pulau Jawa, Samudera Hindia Barat pulau Sumatera hingga Selatan Jawa Tengah, Laut Jawa bagian Timur, Perairan Selatan Kalimantan, Selat Makassar bagian Selatan, Laut Flores, Perairan Nusa Tenggara, Perairan Sulawesi Selatan, Perairan Sulawesi Tenggara, Teluk Tolo, Perairan Sulawesi Utara, Laut Maluku, Perairan Kep. Sangihe, Perairan Halmahera, Laut Halmahera, Laut Aru bagian Timur, Perairan Fakfak dan Perairan Kep. Raja Ampat.

Gelombang Laut dengan tinggi 3.0 meter s/d 5,0 meter berpeluang terjadi di : Laut Andaman, Laut Tiongkok Selatan, Samudera Hindia Selatan Jawa Timur, Laut Sumbawa, Perairan Selatan Bali dan Nusa Tenggara, Perairan pulau Sumba, Laut Sawu, Perairan Kupang dan Pulau Rote, Laut Timor, Perairan Kep. Talaud, Samudera Pasifik Utara Halmahera, Laut Buru, Perairan Selatan pulau Buru dan pulau Seram, Laut Banda, Perairan pulau Wetar dan Kep. Leti, Perairan Kep. Babar dan Kep. Tanimbar, Perairan Kep. Kai dan Kep. Aru, Laut Aru bagian Barat, Laut Arafura, Peraira pulau Yos Sudarso dan Perairan Merauke. 

Sumber: BKMG

Ketidakpastian Masa Depan Terumbu Karang

(Sumber : NOAA)

Ekosistem terumbu karang menghadapi permasalahan yang krusial sebagai dampak dari perubahan iklim global.  Ekosistem terumbu karang dan biotanya cenderung bergerak menjauh dari equator menuju ke wilayah sub tropis yang cenderung lebih dingin. Hal ini tidak terlepas dari kejadian naiknya suhu perairan yang menyebabkan kejadian pemutihan karang dan pengasaman air laut.

Seorang peneliti yang berasal Universitas Washington, Curtis Deutsch mengungkapkan bahwa perairan yang hangat membuat metabolisme biota laut menjadi meningkat dan secara otomatis membutuhkan oksigen yang lebih banyak. Akan tetapi kadar oksigen di perairan yang hangat cenderung lebih rendah. Hasilnya biota laut berpotensi akan kelaparan akan oksigen. Dengan prediksi suhu perairan akan terus meningkat maka pada akhirnya akan mengganggu metabolisme dan keberadaan ekosistem dan biotanya.

Jika kadar oksigen terus menurun dan melewati batas minimal yang dibutuhkan oleh biota, maka biota tersebut akan pergi meninggalkan habitat aslinya menuju habitat yang lebih cocok. Dalam hal ini bergerak ke lintang yang lebih tinggi dan perairan yang lebih dalam untuk menghindari perairan yang panas. 

Perpindahan beberapa biota menuju ke lintang tinggi dan kutub telah terjadi di Perairan Atlantik, dimana ikan Kod dan beberapa spesies telah diidentifikasi berpindah habitat. Perpindahan tersebut tidak diragukan lagi, dan telah terjadi dimana 50 - 70% ekosistem laut di dunia telah berubah keanekaragaman hayatinya seiring dengan kenaikan suhu perairan. Pertanyaan berikutnya adalah: perubahan seperti apa dan habitat apa nantinya yang mampu melindungi biota-biota di bawah air.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Pau Muir dari Museu tropis Queensland Australia terhadap 104 jensi karang "staghorn" yang bertujuan untuk memprediksi masa depan. Saat ini karang berada dalam kondisi yang terjepit. Ketika biota karang melakukan migrasi habitat menjauh dari equator untuk menghindari suhu yang sangat panas, tetapi mereka  tetep tergantung hidupnya pada habitat dangkat karena sangat tergantung sinar matahari. 

Pergerakan ekosistem terumbu karang pada setiap satu derajat lintang menuju daerah subtropis akan diikuti oleh kenaikan jarak 0.6 meter terhadap permukaan air laut, akan tetapi kenaikan permukaan air laut akan berhenti pada suatu titik dimana salinitas, gelombang dan kekurangan cahaya akan sangat menghambat kelangsungan hidup biota karang.

Penelitian-penelitian tersebut akan menunjukkan kepada kita bahwa perubahan iklim global akan merubah habitat dan ekosistem laut.

Rabu, 24 Juni 2015

Pengasaman dan Peningkatan Suhu Air Laut Menurunkan Resilience Karang

Pemanasan dan pengasaman air laut sebagai dampak peningkatan konsentrasi CO 2 di atmosfir merupakan salah satu ancaman global terhadap terumbu karang dan di beberapa wilayah di dunia Hal tersebut semakin diperburuk oleh gangguan yang bersifat local seperti penangkapan berlebih dan peningkatan nutrient. 

Para peneliti menganalisis secara kuantitatif bagaimana perbedaan konsentrasi CO2 dan tingkat penangkapan ikan herbivore akan berpengaruh terhadap resilience secara ekologi dan struktur komunitas sederhana, dalam hal ini resilience yang di artikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan recovery dari karang-karang yang mendominasi. 

Para peneliti menggunakan kesatuan model komunitas dinamis dengan pertumbuhan dan respon kematian dari Acropora bercabang dan Fleshy makro alga. Dasar-dasar resilience yang digunakan adalah dengan mengunakan parameter fungsi respon pertumbuhan karang /kalsifikasi dengan pengasaman air laut dan pemanasan air laut, pemutihan karang dan kematian karang akibat pemanasan, pemangsaan alga oleh ikan herbivore dan pertumbuhan makro alga melalui penumpukan nutrient. 

Perubahan atau peningkatan suhu di prediksi akan meningkatkan konsentrasi CO 2. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat pengasaman air laut yang tinggi dan mengakibatkan penurunan tingkat resilience karang, walaupun intensitas pemangsaan alga oleh herbivore tetap tinggi dan konsentrasi nutrient rendah. Selain itu penangkapan berlebih herbivore mengakibatkan fase pergantian alga-coral menjadi rendah. 

Dari penelitian tersebut disimpulkan beberapa hal diantaranya; Karang menjadi subjek dari penangkapan berlebih dan nitrifikasi yang menjadikan lebih rentan terhadap peningkatan CO 2: pada konsentrasi CO2 di atas 450 - 500 ppm, pengelolaan terhadap ganguan local akan lebih penting untuk menjaga terumbu karang dalam peningkatan dominasi Acropora.

Menimbang Kembali Kebijakan Menteri Susi


Sebuah spanduk besar bertuliskan “Mana kapal yang lain?” dipajang di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan. Spanduk yang juga menampilkan gambar sang menteri berkacamata hitam dengan latar belakang perahu terbakar menegaskan sikap Indonesia dalam hal pencurian ikan.

Susi Pudjiastuti adalah pilihan tak lazim untuk memimpin kementerian tersebut. Namun, tindakannya menghancurkan kapal-kapal pencuri ikan yang tertangkap di perairan Indonesia menjadi indikasi pemerintahan baru.
Dan langkah sang menteri bukan tanpa alasan. Kerugiaan dari pencurian ikan sulit dikalkulasi. Namun, tinjauan bersama yang dilakukan pada 2009 oleh kementerian dan Perserikatan Bangsa-bangsa menaksir bahwa Indonesia dirugikan sekitar $2 miliar per tahun. Angkanya mungkin sejak itu bertambah.
Karena itu, pada Januari, kementerian melarang penggunaan pukat. Volume pencurian ikan pun berkurang, baik yang dilakukan oleh nelayan asing maupun Indonesia. Namun, kapal-kapal nelayan miskin yang menggunakan pukat versi lebih kecil pun terdampak.
Pembatasan pencurian ikan adalah kebijakan bagus. Namun, kerugian dari praktik tersebut lebih kecil ketimbang miliaran dolar lain yang bisa diselamatkan dengan mengurangi praktik penangkapan ikan berlebih.
Bagi pemerintah baru Indonesia yang ingin meningkatkan produktivitas dan daya saing global, perikanan harus menjadi sektor yang produktif dan tidak hanya menangguk sumber daya alam. Hal demikian membutuhkan reformasi menajemen lebih terperinci daripada hanya menggulirkan regulasi dan larangan.
Salah satu aturan adalah menetapkan ukuran minimum lobster yang dapat ditangkap guna menghindari penangkapan lobster anakan yang dapat dikembangkan di luar negeri dan akan bernilai jual tinggi. Namun, aturan itu juga berlaku di Indonesia, yang ujungnya mengganggu program pengembangan masyarakat yang menjanjikan di Nusa Tenggara Barat.
Larangan lain adalah praktik pengalihan muatan barang antarkapal di laut (transshipment). Namun, aturan itu pun memengaruhi nelayan lokal skala kecil yang memanfaatkan perahu pengepul untuk mengirimkan hasil tangkapan mereka ke pasar setempat.
Moratorium terbaru atas izin penangkapan ikan bagi kapal yang dirakit di luar Indonesia kemungkinan akan mendorong industri perakitan kapal domestik. Namun, kebanyakan nelayan skala kecil telah membeli atau membuat sendiri perahu dan hal demikian tak mengangkat mereka keluar dari kemiskinan serta utang.
Reformasi yang baru dijalankan ini dapat dimengerti menyusul sulitnya menegakkan aturan–hal yang selalu terjadi di masa lampau. Penangkapan ikan menjadi sektor terakhir yang menawarkan lapangan kerja. Pelarangan atas pemakaian alat tertentu akan lebih banyak membuat orang miskin melaut.
Meski demikian, menciptakan lapangan kerja berbeda dari menciptakan kekayaan dan modal. Yang pertama takkan meningkatkan jumlah pangan atau uang di masyarakat miskin desa pesisir yang terlanjur berada dalam jeratan utang dan ketiadaan akses modal.
Bahkan, perbankan Indonesia yang khusus mengurusi pembiayaan mikro pun berhati-hati dalam mendanai nelayan skala kecil akibat kurangnya transparansi dan jaminan. Ujungnya, para nelayan biasanya bersandar kepada para pembeli dan tengkulak dalam urusan pembiayaan. Dalam beberapa kasus, hubungan antara nelayan dan rentenir saling menguntungkan. Tapi, dalam kasus lain, yang muncul adalah semacam praktik kuli kontrak.
Mencari cara bagi nelayan untuk mendapatkan uang dari sumber daya laut adalah pendekatan menjanjikan, tapi ruwet. Problemnya adalah bagaimana akses menuju sumber daya itu dibuka: tiada batasan mengenai siapa yang menangkap ikan, atau seberapa banyak tangkapan yang dihasilkan.
Masalah ini tak memiliki instrumen penyelesaian yang gamblang. Namun, jika hanya berpangku tangan, profitabilitas mungkin akan berseberangan dengan keberlangsungan.
Pembakaran kapal nelayan adalah pertunjukan dramatis dan menekan pencurian ikan menjadi kebijakan baik. Namun, larangan penggunaan alat tangkap tertentu takkan berlangsung lama.
Indonesia berpeluang meningkatkan perekonomian dan kesehatan lingkungan. Namun, negeri ini perlu reformasi yang berujung pada formasi modal, pengadaan kekayaan, dan penghargaan terhadap praktik tradisional yang berhasil memelihara sumber daya.
Michael de Alessi adalah ilmuwan riset di School of Aquatic and Fishery Sciences, University of Washington, dan penerima Fulbright Indonesia Senior Scholarship.