Senin, 14 Januari 2013

Pura-Pura Mati, Cara Embrio Hiu Hindari Predator


Jika predator mendekat, embiro hiu ini akan menahan napas, melingkarkan ekor di sekitar tubuh, dan diam. 

Meski hiu lahir lengkap dengan peralatan berburu dan pertahanan diri, mereka tetap ringkih saat masih menjadi embrio. Ukurannya yang cukup kecil menjadikan mereka sebagai santapan lezat ikan yang jauh lebih besar. Tapi studi terbaru menyatakan embrio-embrio ini bisa mendeteksi predator dan punya taktik sendiri untuk menghindarinya, yakni dengan berpura-pura mati.

Setiap makhluk hidup memiliki medan magnet. Dan hiu bisa mendeteksi medan magnet ini menggunakan pori-pori yang disebut ampul Lorenzini. Pori ini terletak di kepala dan di sekitar mata. Studi sebelumnya mempelajari hiu bambu (Scyliorhinus canicula) dan Raja eglanteria -relatif dari hiu- memiliki perilaku sama dalam mengecoh predator.

Namun, peneliti hiu sekaligus mahasiwa program doktor University of Western Australia, Ryan Kempster, memberi penjelasan lebih dalam di jurnal PLoS One yang dirilis, Rabu (9/1). Kempster menguji 11 embrio hiu bambu coklat terhadap medan magnet yang dihasilkan oleh predator. Ternyata jika hiu ini mencapai satu fase pertumbuhan dan diberi rangsangan medan magnet predator, mereka akan menahan napas, melingkarkan ekor di sekitar tubuh, dan diam.

"Jadi sepertinya mereka memberi jubah pada diri sendiri," ujar ahli neuro-ekologi Joseph Sisneros, dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat. "Mereka menutup semua isyarat bau, pergerakan air, dan sinyal elektriknya sendiri." Untuk bisa sampai pada kesimpulan ini tidaklah mudah. Karena Kempster harus melakukan tes medan magnet yang berulang-ulang. "Juga tidak semua hiu yang sama bisa merespon berulang kali," kata Kempster. 



Rabu, 09 Januari 2013

Karang masih bertahan pada kenaikan suhu



Para Peneliti beberapa waktu yang lalu telah berhasil menemukan pola genetis dari hewan karang, sehinga hewn karang mampun bertahan pada peningkatan suhu perairan. 

Penemuan ini memberikan salah satu alternative untuk memprediksi bagai mana karang merespon kenaikan suhu permukaan air laut sebagai dampak dari perubahan iklim global yang terjadi pada beberapa dekade. Informasi tersebut dapat membantu pengelola dalam usaha konservasi dimasa yang akan datang.  
Sebagai contoh  karang Acropora hyacinthus di  Ofu Island, American Samoa, telah terbukti mampu bertahan pada fluktuasi suhu permukaan air laut sampan deign  6 °C. Untuk mengetahui sebab kenapa karang tersebut memiliki data lenting yang kuat, para peneliti melakukan perbandingan aktivitas gen yang pada resisntan terhadap panas dan gen yang sensistive terhadap panas dengan mengukur "transcriptone". Transcriptone merupakan seluruh set molekul RNA termasuk mRNArRNAtRNA, dan RNA lainnya.  Gen - gen tersebut berfungsi sebagai anti oksidan dan protein yang menyebar untuk merespone kenaikan suhu.  

Daniel Barshis seorang  peneliti dari institute of Marine Science at the University of California Santa Cruz menemukan bahwa hampir ratusan karang memiliki kemampuan untuk merubah profile gennya untuk merespon pada kenaikan suhu air yang dipanaskan dalam sebuah tank    menjadi 32.9 °C . Tetapi pada  karang yang resilient terhadap panas, sekitar 60 gen lebih tahan hanya pada temperature 29 sebagai suhu control. Para peneliti berpendapat bahwa profile gen tersebut karang yang mampu bertahan pada level rendah dari perubahan kondisi. 

Karang yang telah terbiasa dengan kondisi terekspose oleh pasang surut dan perubahan suhu memiliki kecenderungan memiliki data resilinesi yang lebih kuat. Saat ini perubahan iklim terjadi dengan begitu cepat, sehingga sangat penting untuk memahami bagaimana organisme dapat merespon perubahan iklim tersebut demikian pendapat Ove Hoegh-Guldberg, seorang ahli biology laut dari Global Change Institute,  Universitas Queensland, Australia. Beliau menambahkan hasil penelitian mengenai respond hewan karang terhadap perubahan suhu perairan sangat berguna. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa pada masa yang akan datang kita tidak akan melihat karang tumbuh dengan baik pada kondisi peningkatan suhu perairan 1 - 2 °C. 

Tantangan saat ini adalah bagaimana mengidentifikasi apakah pola gen dipengaruhi oleh species karang yang resilient terhadap suhu dengan maksud untuk lebih memahami proses dan potensi membangun sebuah teori untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi di dunia yang memiliki kemampuan bertahan yang lebih baik terhadap pemanasan global.