Jumat, 12 Maret 2010

Alga Merah, Si Ampuh yang Semula Berwarna Hijau


SURABAYA, KOMPAS.com — Alga (ganggang) merah atau red algae dipandang paling ampuh menangkal radikal bebas. Demikian kata Kepala Poli Obat Tradisional Indonesia RSUD Dr Soetomo Surabaya dr Arijanto Jonosewojo, SpPD, di Surabaya, Jumat (11/12/2009).

Dia mengatakan, suplemen dan multivitamin kimia yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama dikhawatirkan menyebabkan penumpukan prooksidan atau radikal bebas yang bisa memicu terjadinya kanker dan diabetes melitus.

Asta Xanthine, zat aktif yang terdapat pada alga merah, mempunyai kandungan anti-oksidan 6.000 kali lebih banyak dibandingkan vitamin C dan 1.000 kali vitamin E. Karena itu, selain mempunyai kemampuan menangkal radikal bebas secara alami, alga merah juga berfungsi sebagai anti-aging atau mencegah penuaan.

"Alga merah juga bisa digunakan untuk memperlancar sirkulasi darah, memperbaiki sel-sel yang rusak, dan memproduksi insulin dalam darah," katanya.

Untuk menghasilkan zat Hematococcus pluviallis yang terdapat pada Astaxanthine, alga merah perlu proses yang panjang. Awalnya, alga merah tidak bewarna merah, tetapi hijau.

Alga merah yang awalnya bewarna hijau dimasukkan ke dalam sebuah tabung yang mendapatkan sinar matahari yang cukup. Karena mendapat sinar matahari yang cukup, tumbuhan berklorofil tersebut berubah warna menjadi merah.

"Pengembangbiakan alga merah saat ini masih dilakukan di Hawaii, meskipun aslinya berasal dari Jepang," katanya.

Sementara ini di Indonesia, alga merah belum banyak diproduksi secara massal karena belum ada yang mengembangbiakkannya. "Kalaupun ada, pasti harganya sangat mahal karena harus diimpor dari luar negeri," katanya. (*)

Hiu Tutul ke Probolinggo Tiap Tahun




Indonesia, dalam hal ini perairan Probolinggo, termasuk satu dari sekitar 10 negara di dunia yang setiap tahun dijadikan persinggahan.

Tahun ini, sejumlah hiu tutul tampak berenang sampai ke permukaan air di perairan laut Kabupaten Probolinggo. Para nelayan acap kali melihatnya.

Ecocean, organisasi nirlaba yang fokus pada penelitian dan kampanye penyelamatan hiu tutul (whale shark), tertarik mendokumentasikan fenomena ini. Organisasi yang berkantor pusat di Perth, Australia, tersebut mengirim seorang peneliti guna mendokumentasikan dan meneliti hiu tutul sejak Rabu (9/2).

”Indonesia, dalam hal ini perairan Probolinggo, termasuk satu dari sekitar 10 negara di dunia yang setiap tahun dijadikan persinggahan. Yang menarik, di sini periodenya setiap tahun tetap. Di tempat lain, periodenya tidak tentu,” kata Darcy Bradley, peneliti Ecocean saat ditemui seusai mengambil gambar hiu tutul.

Di perairan milik sekitar 100 negara, hiu tutul pernah menampakkan diri. Sebagian besar kemunculan ikan yang panjangnya bisa sampai 12 meter serta berat 21 ton itu sifatnya acak. Selain di Probolinggo, hiu tutul mampir, di antaranya, di Ningaloo (Australia), Donsol (Filipina), Isla Mujeres (Meksiko), Mozambik, dan Kepulauan Maladewa.

Menurut Darcy, hiu itu datang untuk mencari plankton. Belum diketahui dari perairan mana asal hiu itu. Adapun habitat hidupnya diperkirakan di perairan tropis.

Hiu tutul adalah satwa langka yang belum banyak diteliti sehingga pengetahuan tentang satwa itu masih minim. Makanan pokok hiu tutul adalah plankton. Keberadaan hiu tutul menjadi penting karena bisa menjadi indikator kualitas ekosistem laut.

Dalam laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), hiu tutul masuk dalam daftar merah. Satwa yang umurnya bisa mencapai 70 tahun itu rawan punah.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Probolinggo Tutug Edi Utomo menyatakan, fenomena hiu tutul di perairan Kabupaten Probolinggo akan dimanfaatkan sebagai ekowisata. Probolinggo memiliki Pantai Bentar yang bisa dijadikan gerbang masuk wisatawan.

”Tentu saja, pemerintah daerah akan ikut menjaga kelestarian hiu tutul. Di kalangan masyarakat nelayan setempat pun, hiu tutul dipercaya sebagai tanda banyaknya ikan-ikan kecil sehingga selama ini tidak pernah ada perburuan hiu tutul oleh warga lokal,” kata Tutug. (LAS)

sumber: kompas.com

KIARA: UU PESISIR SIMPAN POTENSI BAHAYA

Saturday, 13 March 2010 03:44

Denpasar, 12/3 (Antara/FINROLL News) - Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengimbau Pemerintah Kabupaten/Kota yang berwilayah pesisir agar mewaspadai potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

"Pascapermohonan gugatan uji materi Undang-Undang ini di Mahkamah Konstitusi, Kamis lalu, membuktikan hal ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU tersebut dalam kebijakan daerah," kata Abdul Halim, koordinator Program KIARA, kepada ANTARA, di Denpasar, Jumat petang.

Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral.

"Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan pelbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.

Berdasarkan data jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia pada 2002, terdapat 219 kabupaten dan kota atau sama dengan 68 persen wilayah pemerintahan di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir, yang terus tumbuh pascaberkembangnya pemekaran wilayah belakangan ini.

Tiap-tiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Perlu perhatian yang berbeda pula untuk mengelola wilayah pesisir tersebut.

Jika demikian, katanya, kebijakan dan instrumen kelembagaan yang dirumuskan pun juga tak bisa disamakan di semua wilayah Indonesia. Pula disebabkan perbedaan karakteristik ekonomi-politik dan sosial-budaya yang dijalani oleh masyarakat pesisir di pelbagai wilayah.

"Sebaliknya, pemerintah melalui Undang-Undang ini tidak mengindahkan keragaman karakter wilayah pesisir, dengan mendorong komersialisasi perairan pesisir," katanya.

Ketiadaan keterkaitan kebijakan publik dengan hajat hidup masyarakat kian mempertegas kesembronoan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dia memberi contoh, di Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Bengkulu, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dihadapkan pada keberadaan perusahaan tambang pasir besi yaitu PT Selomoro Banyu Arto yang mengganggu pola penghidupan mereka.

Sebelum perusahaan besar itu beroperasi, dalam tempo lima hingga enam jam per hari pada malam hari, nelayan penangkap udang alam bisa memperoleh pendapatan antara Rp60.000-Rp200. 000.

Sebaliknya, sejak perusahaan tambang pada 2008 beroperasi dan melakukan pembendungan muara sungai, sangat sulit bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan uang sebesar Rp20.000 dari hasil menangkap udang alam.

"Bertolak dari fakta di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menutup mata atas persoalan di daerah. Seperti terurai dalam UU Nomor 27/2007 tentang PWP3K, pemilik modal boleh melakukan privatisasi dan eksploitasi SDA pesisir dan laut selama 60 tahun," katanya.

Sumber: http://www.news. id.finroll. com/rilis- press/236673- kiara-uu- pesisir-simpan- potensi-bahaya. html

Kamis, 11 Maret 2010

TAMBAK HANCURKAN CAGAR ALAM TANJUNG PANJANG POHUWATO

Kamis, 11 Maret 2010 12:07 WIB | Warta Bumi | Masalah Lingkungan | Dibaca 408 kali

Gorontalo (ANTARA News) - Pembukaan lahan tambak dalam skala besar telah menghancurkan sebagian besar ekosistem yang ada di kawasan cagar alam tanjung panjang, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.

Hal itu diungkapkan Dr Rignolda Djamaludin, seorang akademisi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, di Gorontalo, Kamis.

Eksploitasi lahan mangrove itu, telah dimulai sejak era tahun 1980-an dan berlangsung hingga kini. Lebih dari 50 persen lahan mangrove di kawasan ini terkonversi menjadi tambak.

Cagar alam Tanjung Panjang seluas 3.000 hektare itu ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut/TGHK 362/85). Cagar alam tersebut merupakan habitat berbagai hewan dan binatang, antara lain babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam.

"Dulu, burung maleo (Macrocephalon maleo) endemik Sulawesi, dilaporkan masih ada di daerah ini, tetapi sekarang menghilang," ujarnya.

Menurut dia, Tanjung Panjang merupakan penyangga terbesar ekosistem Teluk Tomini, yang mencakup sebagian wilayah sulawesi tengah dan sulawesi utara.

Sementara itu, menurut keterangan kepala desa Patuhu , Zulkarnain Duwawolu, salah satu desa yang terdapat di kawasan Cagar Alam tersebut, kini terdapat 1.115 hektare diantaranya yang telah dikonversi menjadi tambak.

Tambak-tambak ini pada umumnya dimiliki oleh pengusaha yang berasal dari sulawesi selatan, dan hasilnya juga dipasarkan di sulawesi selatan dan Palu, sulawesi tengah. (SHS/B010)


Sumber: http://www.antarane ws.com/berita/ 1268284035/ tambak-hancurkan -cagar-alam- tanjung-panjang- pohuwato

Senin, 08 Maret 2010

MENGELOLA STOK IKAN BERKELANJUTAN

Senin, 8 Maret 2010 | 02:54 WIB

YONVITNER

Dr Alan F Koropitan mengutip laporan Cheung dan kawan-kawan dalam jurnal Global Change Biology, peningkatan CO sampai 720 ppm dapat berdampak pada penurunan 20 persen stok perikanan Indonesia pada 2100.

Penurunan stok ikan kita pada 2100 bukan hanya domain dari peningkatan CO di udara hingga 720 ppm dengan skenario tingkat emisi seperti sekarang.

Perlu ditegaskan, CO hanya merupakan salah satu material antropogenik, baik di udara maupun di perairan, yang dapat berperan esensial bagi makhluk hidup. Keberadaan CO di perairan menjadi penting untuk bekerja fitoplankton dalam proses produksi primer sehingga tropik level dapat bekerja dengan baik.

Dalam konteks proses produksi primer, kebutuhan akan CO penting sebagai bahan pakan bagi tropik level pertama. Sementara sumber daya ikan berada pada level menengah dan tropik atas. Fakta empiris menunjukkan, penurunan stok ikan yang terjadi adalah sebagai fungsi pertumbuhan, perekrutan, mortalitas alami, dan penangkapan, serta pengaruh antropogenik, salah satunya CO.

Indikator biologi ekologi

Penurunan stok ikan dapat dievaluasi dari beberapa indikator biologi-ekologi, seperti biomassa dan ukuran ikan. Penelitian PKSPL IPB tahun 2009 di Perairan Laut Aru dan Banda menunjukkan, ukuran ikan tongkol yang tertangkap pada umumnya sama dengan yang tertangkap Lease, yaitu berukuran 48-54,15 cm (Syahailatua, et al. 1993).

Tangkapan ikan tenggiri ukurannya mencapai 87 cm, cakalang mencapai 50,84 cm. Peluang tangkapan dari potensi ikan tongkol yang berukuran besar masih cukup tinggi di perairan. Adapun ikan cakalang sudah mencapai ukuran maksimum tumbuh di perairan tersebut dan belum mencapai tangkapan maksimum, dan masih ada peluang penangkapan.

Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), untuk kelompok ikan karang yang mengalami penurunan ukuran dari rata-rata tangkap 50 cm, saat ini dominan tertangkap ukuran 46 cm. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di perairan timur Indonesia. Bandingkan dengan penelitian Faunce et al (2002).

Tangkapan ikan kakap merah di Teluk Biscay antara 25-30 cm, lebih rendah dari yang tertangkap di perairan Maluku. Dari penurunan ukuran tangkap ini terbukti bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tangkap telah dibatasi oleh peningkatan intensitas tangkap.

Selain kemampuan tumbuh, faktor lainnya yang memengaruhi stok ikan adalah karakteristik ruaya ikan (migratory species). Secara riil biomassa produksi perikanan tuna tidak mengalami penurunan, tetapi dari segi ukuran memang telah terjadi penurunan. Kondisi ini memberikan bukti bahwa intensitas penangkapan yang tinggi telah menyebabkan turunnya ukuran tangkap ikan tuna.

Sebagai ikan yang melakukan migrasi dalam geografis yang luas, tuna akan selalu berpindah setiap waktu. Perairan laut Indonesia bukanlah tempat permanen dari ikan tuna dunia.

Analisis The Investigation Society of Tuna Fisheries (Sadhori, 1985) di Indonesia menyebutkan, waktu penangkapan tuna Samudra Hindia tidak terfokus pada satu lokasi saja dan selalu terjadi perubahan migrasi bulanan ikan tuna.

Catatan yang mengejutkan diungkapkan peneliti Dr Anthony Lewis dalam National Tuna Congress (Kongres Nasional tentang Tuna) di General Santos City, Filipina, 2009. Disebutkan bahwa migrasi ikan tuna dunia ternyata bermuara ke perairan Maluku Utara. Tentu hal ini memberikan peluang pada peningkatan produksi ikan tuna Indonesia.

Intensitas tangkapan

Fakta empiris bahwa produktivitas penangkapan ikan tuna di Samudra Hindia sebesar 281,2 kg/hari turun menjadi 177 kg/setting (Astuin, 2001). Peningkatan armada mencapai 66 persen, sedangkan rasio penurunan produktivitas tuna hanya sekitar 54 persen.

Artinya, peningkatan armada kapal jauh lebih tinggi dari penurunan hasil tangkapan tuna atau 47 persen penurunan produksi bulanan. Hasil penelitian BRKP 2007 menunjukkan, telah terjadi perubahan ikan pelagis sebagai konsekuensi penyusutan stok (biomassa) dan peningkatan upaya perikanan pukat cincin semiindustri yang tak terkontrol.

Penurunan produksi ikan pelagis diduga akibat alterasi spesies serta kompetisi makanan dan ruang yang menjadi habitat ikan. Tekanan penangkapan tidak seimbang dengan daya pulih stok tersebut. Jumlah kapal aktif dan jumlah trip makin menurun, tetapi jumlah hari operasional di laut meningkat.

Berdasarkan data statistik tahun 2007-2008, produksi perikanan tangkap di laut meningkat 2,71 persen dari 4,73 juta ton tahun 2007 meningkat menjadi 4,86 juta ton pada 2008.

Jumlah kapal penangkap ikan segala ukuran pada 2007 sebanyak 590.314, sedangkan pada 2008 menjadi 590.380 atau meningkat 0,01 persen. Pada 2007, jumlah nelayan perikanan tangkap di laut 2,75 juta jiwa dan 2,77 juta jiwa pada 2008 atau meningkat 0,8 persen.

Pengelolaan berkelanjutan

Untuk melindungi penurunan stok ikan tangkap, seperti yang dikhawatirkan Dr Allan, setidaknya ada rencana tindak yang harus segera diupayakan, yaitu penanganan Illegal Fishing dan Moratorium serta rasionalisasi aktivitas perikanan tangkap.

Pemberantasan illegal fishing mutlak diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada nelayan kita untuk dapat memanfaatkan wilayah perairan secara optimal.

Sementara moratorium diutamakan untuk melindungi ekosistem yang mengalami tekanan dengan membatasi alat tangkap yang bersifat merusak atau menyeimbangkan antara daya dukung biomassa dan intensitas tangkap yang seharusnya diberikan (rasionalisasi) .

Rencana tindak berikutnya adalah merevitalisasi lahan diwilayah pesisir yang masih berpotensi untuk pengembangan budi daya. Bagian penting yang tidak bisa dipisahkan adalah merehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang yang baik akan mampu meningkatkan biomassa ikan (daya dukung).

Dengan demikian, jelas bahwa penurunan stok tidak hanya karena pengaruh dari beban antropogenik (peningkatan CO), tetapi juga karena komponen lingkungan lainnya.

Untuk itu, pola pikir yang perlu dikembangkan dalam mengkaji penurunan stok adalah kerangka logis yang bersifat holistik dengan mengintegrasikan informasi biologi-ekologi ikan, tekanan aktivitas manusia, dan relung sumber daya (sebagai media hidup ikan).

YONVITNER Dosen Laboratorium Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/08/ 02542218/ mengelola. stok.ikan. berkelanjutan

Rabu, 03 Maret 2010

PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA MEMPRIHATINKAN
Monday, 01 February 2010 13:40

JAKARTA (BB) -- Pengelolaan lahan basah untuk berbagai kepentingan ekonomi dengan intrik politik, dipastikan berimbas cukup besar pada lingkungan. Ancaman banjir, penurunan produksi pangan, peningkatan kesurusakan pesisir, akan menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini.

Dipastikan sejak tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove di Indonesia musnah dan beralih fungsi menjadi lahan ekonomi untuk tambak udang, telah mengancam kehidupan ekosistem yang berada di areal lokasi tersebut.

Kehancuran lahan basah di Indonesia, sempat diakui Abdul Halim Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dipicu karena lemahnya kemauan dan tindakan Negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia,”

Beberapa factor yang mengakibatkan lahan basah ini rusak, dikatakan Abdul Halim, karena pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan yang destruktif, praktek akuakultur yang tidak benar, peningkatan pencemaran di laut, terbatasnya konservasi sumber daya, dan pengembangan kebijakan yang menjurus terhadap penggunaan sumber daya laut yang berlebihan.

Abdul Halim menyangkan, pada posisi Indonesia seperti sekarang pemerintah justru mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mengisyaratkan adanya privatisasi kawasan pesisir dan reklamasi pantai dalam skala besar.

Lebih jauh Abdul Halim menerangkan, akibat rusaknya lahan basah bisa dibuktikan dengan peningkatan suhu. Dari tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C. “Ini sangat mengancam kelangsungan hidup ekosistem termasuk manusia itu sendiri,” tegasnya.

Menurtnya, sejauh ini, peran pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan basah terlihat kontraproduktif. Satu sisi turut berpartisipasi aktif dalam konvensi global terkait lahan basah (RAMSAR Convention), namun di sisi yang lain, pemerintah justru memproduksi kebijakan-kebijakan yang justru bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan lahan basah berkelanjutan sebagaimana telah disepakati dalam konvensi Ramsar.

Sementara menjelang hari lahan basah sedunia yang jatuh pada tanggal 2 febuari, besok sejumlah element masyarakat di Jakarta, meminta pemerintah serius dan mau terlibat aktif dalam menangani permasalahan lahan basah ini. Pasalnya, kerusakan lahan basah akan berimbas dan mengancam manusia. (*)

sumber: www.budibach.com