Senin, 8 Maret 2010 | 02:54 WIB
YONVITNER
Dr Alan F Koropitan mengutip laporan Cheung dan kawan-kawan dalam jurnal Global Change Biology, peningkatan CO sampai 720 ppm dapat berdampak pada penurunan 20 persen stok perikanan Indonesia pada 2100.
Penurunan stok ikan kita pada 2100 bukan hanya domain dari peningkatan CO di udara hingga 720 ppm dengan skenario tingkat emisi seperti sekarang.
Perlu ditegaskan, CO hanya merupakan salah satu material antropogenik, baik di udara maupun di perairan, yang dapat berperan esensial bagi makhluk hidup. Keberadaan CO di perairan menjadi penting untuk bekerja fitoplankton dalam proses produksi primer sehingga tropik level dapat bekerja dengan baik.
Dalam konteks proses produksi primer, kebutuhan akan CO penting sebagai bahan pakan bagi tropik level pertama. Sementara sumber daya ikan berada pada level menengah dan tropik atas. Fakta empiris menunjukkan, penurunan stok ikan yang terjadi adalah sebagai fungsi pertumbuhan, perekrutan, mortalitas alami, dan penangkapan, serta pengaruh antropogenik, salah satunya CO.
Indikator biologi ekologi
Penurunan stok ikan dapat dievaluasi dari beberapa indikator biologi-ekologi, seperti biomassa dan ukuran ikan. Penelitian PKSPL IPB tahun 2009 di Perairan Laut Aru dan Banda menunjukkan, ukuran ikan tongkol yang tertangkap pada umumnya sama dengan yang tertangkap Lease, yaitu berukuran 48-54,15 cm (Syahailatua, et al. 1993).
Tangkapan ikan tenggiri ukurannya mencapai 87 cm, cakalang mencapai 50,84 cm. Peluang tangkapan dari potensi ikan tongkol yang berukuran besar masih cukup tinggi di perairan. Adapun ikan cakalang sudah mencapai ukuran maksimum tumbuh di perairan tersebut dan belum mencapai tangkapan maksimum, dan masih ada peluang penangkapan.
Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), untuk kelompok ikan karang yang mengalami penurunan ukuran dari rata-rata tangkap 50 cm, saat ini dominan tertangkap ukuran 46 cm. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di perairan timur Indonesia. Bandingkan dengan penelitian Faunce et al (2002).
Tangkapan ikan kakap merah di Teluk Biscay antara 25-30 cm, lebih rendah dari yang tertangkap di perairan Maluku. Dari penurunan ukuran tangkap ini terbukti bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tangkap telah dibatasi oleh peningkatan intensitas tangkap.
Selain kemampuan tumbuh, faktor lainnya yang memengaruhi stok ikan adalah karakteristik ruaya ikan (migratory species). Secara riil biomassa produksi perikanan tuna tidak mengalami penurunan, tetapi dari segi ukuran memang telah terjadi penurunan. Kondisi ini memberikan bukti bahwa intensitas penangkapan yang tinggi telah menyebabkan turunnya ukuran tangkap ikan tuna.
Sebagai ikan yang melakukan migrasi dalam geografis yang luas, tuna akan selalu berpindah setiap waktu. Perairan laut Indonesia bukanlah tempat permanen dari ikan tuna dunia.
Analisis The Investigation Society of Tuna Fisheries (Sadhori, 1985) di Indonesia menyebutkan, waktu penangkapan tuna Samudra Hindia tidak terfokus pada satu lokasi saja dan selalu terjadi perubahan migrasi bulanan ikan tuna.
Catatan yang mengejutkan diungkapkan peneliti Dr Anthony Lewis dalam National Tuna Congress (Kongres Nasional tentang Tuna) di General Santos City, Filipina, 2009. Disebutkan bahwa migrasi ikan tuna dunia ternyata bermuara ke perairan Maluku Utara. Tentu hal ini memberikan peluang pada peningkatan produksi ikan tuna Indonesia.
Intensitas tangkapan
Fakta empiris bahwa produktivitas penangkapan ikan tuna di Samudra Hindia sebesar 281,2 kg/hari turun menjadi 177 kg/setting (Astuin, 2001). Peningkatan armada mencapai 66 persen, sedangkan rasio penurunan produktivitas tuna hanya sekitar 54 persen.
Artinya, peningkatan armada kapal jauh lebih tinggi dari penurunan hasil tangkapan tuna atau 47 persen penurunan produksi bulanan. Hasil penelitian BRKP 2007 menunjukkan, telah terjadi perubahan ikan pelagis sebagai konsekuensi penyusutan stok (biomassa) dan peningkatan upaya perikanan pukat cincin semiindustri yang tak terkontrol.
Penurunan produksi ikan pelagis diduga akibat alterasi spesies serta kompetisi makanan dan ruang yang menjadi habitat ikan. Tekanan penangkapan tidak seimbang dengan daya pulih stok tersebut. Jumlah kapal aktif dan jumlah trip makin menurun, tetapi jumlah hari operasional di laut meningkat.
Berdasarkan data statistik tahun 2007-2008, produksi perikanan tangkap di laut meningkat 2,71 persen dari 4,73 juta ton tahun 2007 meningkat menjadi 4,86 juta ton pada 2008.
Jumlah kapal penangkap ikan segala ukuran pada 2007 sebanyak 590.314, sedangkan pada 2008 menjadi 590.380 atau meningkat 0,01 persen. Pada 2007, jumlah nelayan perikanan tangkap di laut 2,75 juta jiwa dan 2,77 juta jiwa pada 2008 atau meningkat 0,8 persen.
Pengelolaan berkelanjutan
Untuk melindungi penurunan stok ikan tangkap, seperti yang dikhawatirkan Dr Allan, setidaknya ada rencana tindak yang harus segera diupayakan, yaitu penanganan Illegal Fishing dan Moratorium serta rasionalisasi aktivitas perikanan tangkap.
Pemberantasan illegal fishing mutlak diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada nelayan kita untuk dapat memanfaatkan wilayah perairan secara optimal.
Sementara moratorium diutamakan untuk melindungi ekosistem yang mengalami tekanan dengan membatasi alat tangkap yang bersifat merusak atau menyeimbangkan antara daya dukung biomassa dan intensitas tangkap yang seharusnya diberikan (rasionalisasi) .
Rencana tindak berikutnya adalah merevitalisasi lahan diwilayah pesisir yang masih berpotensi untuk pengembangan budi daya. Bagian penting yang tidak bisa dipisahkan adalah merehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang yang baik akan mampu meningkatkan biomassa ikan (daya dukung).
Dengan demikian, jelas bahwa penurunan stok tidak hanya karena pengaruh dari beban antropogenik (peningkatan CO), tetapi juga karena komponen lingkungan lainnya.
Untuk itu, pola pikir yang perlu dikembangkan dalam mengkaji penurunan stok adalah kerangka logis yang bersifat holistik dengan mengintegrasikan informasi biologi-ekologi ikan, tekanan aktivitas manusia, dan relung sumber daya (sebagai media hidup ikan).
YONVITNER Dosen Laboratorium Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/08/ 02542218/ mengelola. stok.ikan. berkelanjutan
Senin, 08 Maret 2010
Rabu, 03 Maret 2010
PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA MEMPRIHATINKAN
Monday, 01 February 2010 13:40
JAKARTA (BB) -- Pengelolaan lahan basah untuk berbagai kepentingan ekonomi dengan intrik politik, dipastikan berimbas cukup besar pada lingkungan. Ancaman banjir, penurunan produksi pangan, peningkatan kesurusakan pesisir, akan menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini.
Dipastikan sejak tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove di Indonesia musnah dan beralih fungsi menjadi lahan ekonomi untuk tambak udang, telah mengancam kehidupan ekosistem yang berada di areal lokasi tersebut.
Kehancuran lahan basah di Indonesia, sempat diakui Abdul Halim Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dipicu karena lemahnya kemauan dan tindakan Negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia,”
Beberapa factor yang mengakibatkan lahan basah ini rusak, dikatakan Abdul Halim, karena pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan yang destruktif, praktek akuakultur yang tidak benar, peningkatan pencemaran di laut, terbatasnya konservasi sumber daya, dan pengembangan kebijakan yang menjurus terhadap penggunaan sumber daya laut yang berlebihan.
Abdul Halim menyangkan, pada posisi Indonesia seperti sekarang pemerintah justru mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mengisyaratkan adanya privatisasi kawasan pesisir dan reklamasi pantai dalam skala besar.
Lebih jauh Abdul Halim menerangkan, akibat rusaknya lahan basah bisa dibuktikan dengan peningkatan suhu. Dari tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C. “Ini sangat mengancam kelangsungan hidup ekosistem termasuk manusia itu sendiri,” tegasnya.
Menurtnya, sejauh ini, peran pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan basah terlihat kontraproduktif. Satu sisi turut berpartisipasi aktif dalam konvensi global terkait lahan basah (RAMSAR Convention), namun di sisi yang lain, pemerintah justru memproduksi kebijakan-kebijakan yang justru bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan lahan basah berkelanjutan sebagaimana telah disepakati dalam konvensi Ramsar.
Sementara menjelang hari lahan basah sedunia yang jatuh pada tanggal 2 febuari, besok sejumlah element masyarakat di Jakarta, meminta pemerintah serius dan mau terlibat aktif dalam menangani permasalahan lahan basah ini. Pasalnya, kerusakan lahan basah akan berimbas dan mengancam manusia. (*)
sumber: www.budibach.com
Monday, 01 February 2010 13:40
JAKARTA (BB) -- Pengelolaan lahan basah untuk berbagai kepentingan ekonomi dengan intrik politik, dipastikan berimbas cukup besar pada lingkungan. Ancaman banjir, penurunan produksi pangan, peningkatan kesurusakan pesisir, akan menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini.
Dipastikan sejak tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove di Indonesia musnah dan beralih fungsi menjadi lahan ekonomi untuk tambak udang, telah mengancam kehidupan ekosistem yang berada di areal lokasi tersebut.
Kehancuran lahan basah di Indonesia, sempat diakui Abdul Halim Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dipicu karena lemahnya kemauan dan tindakan Negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia,”
Beberapa factor yang mengakibatkan lahan basah ini rusak, dikatakan Abdul Halim, karena pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan yang destruktif, praktek akuakultur yang tidak benar, peningkatan pencemaran di laut, terbatasnya konservasi sumber daya, dan pengembangan kebijakan yang menjurus terhadap penggunaan sumber daya laut yang berlebihan.
Abdul Halim menyangkan, pada posisi Indonesia seperti sekarang pemerintah justru mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mengisyaratkan adanya privatisasi kawasan pesisir dan reklamasi pantai dalam skala besar.
Lebih jauh Abdul Halim menerangkan, akibat rusaknya lahan basah bisa dibuktikan dengan peningkatan suhu. Dari tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C. “Ini sangat mengancam kelangsungan hidup ekosistem termasuk manusia itu sendiri,” tegasnya.
Menurtnya, sejauh ini, peran pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan basah terlihat kontraproduktif. Satu sisi turut berpartisipasi aktif dalam konvensi global terkait lahan basah (RAMSAR Convention), namun di sisi yang lain, pemerintah justru memproduksi kebijakan-kebijakan yang justru bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan lahan basah berkelanjutan sebagaimana telah disepakati dalam konvensi Ramsar.
Sementara menjelang hari lahan basah sedunia yang jatuh pada tanggal 2 febuari, besok sejumlah element masyarakat di Jakarta, meminta pemerintah serius dan mau terlibat aktif dalam menangani permasalahan lahan basah ini. Pasalnya, kerusakan lahan basah akan berimbas dan mengancam manusia. (*)
sumber: www.budibach.com
Sabtu, 27 Februari 2010
PEMBATASAN ALAT TANGKAP
Solusi Meningkatkan Resilience Terumbu Karang Terhadap Perubahan Iklim (Science Daily).
Oleh: jensi
Larangan atau pembatasan penggunaan alat tangkap tipe tertentu dapat menyelamatkan terumbu karang dan populasi ikan untuk dapat bertahan dari serangan gencar perubahan iklim, demikian studi dari ARC Centre of Excellent Coral Reef Study di Universitas James Cook, Wildlife Conservation Society dan kelompok lainnya.
Tim ilmuwan internasional telah mengusulkan larangan penggunanaan alat tangkap seperti senapan tombak, jebakan ikan, dan jaring pukat pantai, untuk dapat membantu dalam perbaikan pada karang dan populasi ikan yang menurun drastis akibat pemutihan karang.
Di sekeliling dunia, terumbu karang mati dalam kondisi menghawatirkan, akibat adanya peningkatan suhu air laut hasil dari pemanasan global.
Penelitian di Kenya dan Papua New Guinea menunjukkan beberapa tipe alat tangkap memikili potensi lebih untuk merusak karang, ikan karang, dan spesies kunci yang dibutuhkan karang untuk pulih dari setelah kejadian pemutihan atau akibat badai.
“Ini menciptakan bahaya ganda, baik karang maupun tipe ikan karang tertentu. Mereka di ambang kehancuran karena penangkapan berlebih dan ditambah pengaruh yang diakibatkan pemutihan semakin memojokan mereka” jelas Dr Cinner. Hasil pembatasan penggunaan alat tangkap dapat menurunkan kerusakan terumbu, populasi ikan, dan meningkatkan kemampuan untuk menopang kesejahteraan penduduk lokal dalam jangka panjang.
“Dari segi ekologi, respon terbaik untuk pemutihan adalah pendekatan pengelolaan terhadap keberadaan karang dan ikan sepenuhnya. Tetapi hal ini cenderung sulit atau tidak dapat diaplikasikan dengan mudah, terutama pada nelayan miskin di negara berkembang”, kata Dr. Tim McClanahan, co-penulis Wildlife Conservation Society. “Pada area dimana pembatasan penangkapan sulit dilakukan , pengelola terumbu karang tidak memiliki banyak pilihan dan tidak dapat melakukan hal lain selain melihat karang mati dan umumnya tidak pulih kembali.”
“Seleksi pembatasan alat tangkap menawarkan pengelola dan nelayan sebuah daerah tengah, ini dapat berupa mengurangi tekanan pada karang dan ikan yang sementara berada dalam fase pemulihan, sementara itu pula harus disediakan beberapa pilihan untuk keberlangsungan hidup nelayan” kata Dr Cinner. Jalan tengah seperti ini umumnya dipilih oleh nelayan. “Di lain pihak, penelitian menunjukan nelayan lebih memilih larangan total dibandingkan dengan larangan penggunaan alat tertentu, karena kebanyakan nelayan menggunakan beberapa tipe alat jadi mereka masih dapat meghasilkan pendapatan jika salah satu alat yang digunakan dilarang. Mereka lebih cenderung menurut.”
Tim menyelidiki efek dari lima tipe alat yang digunakan pada tipe ikan berbeda: tombak, jebakan, kait dan benang, jaring pukat pantai, dan jaring insang. Mereka mendapati tombak merupakan alat yang berakibat fatal diantara semuanya- untuk karang sendiri, spesies ikan yang mudah terkena adalah ikan yang dibutuhkan karang untuk pulih seperti ikan parrot/kakatua, surgeon, trigger yang bersama bulu babi menekan populasi alga, agar karang dapat tumbuh kembali.
“ Target senapan tombak umumnya adalah spesies yang membantu pemulihan terumbu karang, tetapi akibat yang mengejutkan adalah kerusakan terumbu itu sendiri. Ketika ikan ditombak, umumnya ikan akan bersembunyi di balik terumbu sehingga beberapa nelayan akan menghancurkan terumbu untuk mendapatkannya.”kata Dr Cinner.
Tetapi pada negara berkembang, tombak merupakan senjata memancing yang banyak digunakan oleh nelayan miskin karena pembuatannya murah dan hasilnya tinggi, jadi tombak merupakan sumber penghasilan utama nelayan miskin.
“Anda dapat menentukan kebijakan larangan penggunaan alat sewenang-wenang, tetapi anda perlu untuk mempertimbangkan persoalan seperti keringanan, pilihan lain penangkapan, atau alternatif pencaharian yang berpengaruh terhadap nelayan.” kata Dr Shaun Wilson, co-penulis Departemen Konservasi Lingkungan Australia Barat. “Kunci utama dapat berupa edukasi terhadap nelayan mengenai pentingnya habitat terumbu dan spesies yang berpengaruh terhadap kualitas terumbu dan kebutuhan untuk menseleksi apa yang mereka tangkap. Ini berarti nelayan masih dapat menggunakan alat tangkap yang murah dan efektif tanpa perlu merusak habitat dan menurunkan daya pulih terumbu.”
Jebakan ikan dapat mengenai ikan karang yang rentan dan ikan yang berpeeran dalam pemulihan kondisi karang. Jaring pukat pantai mengenai ikan spesies kunci tidak sebanyak jaring insang, jebakan, atau tombak, tetapi sama merusak karang secara langsung dan mengambil jumlah ikan muda dalam jumlah besar.
“Di lokasi yang tingkat ketergantungan pada sumber daya terumbu karangnya tinggi, tidak mungkin melarang semua alat tangkap ini secara permanen. Dengan menciptaan pembtasan sementara untuk alat tipe tertentu, selama fase pemutihan karang, pengelola terumbu dapat menurunkan tekanan pada karang dan populasi ikan untuk sementara waktu ketika ekosistem terumbu dalam kondisi sensitif, tanpa mengakibatkan kesulitan yang tak semestinya terhadap masyarakat yang bergantung padanya.” kata Dr Cinner
“Tentu saja, ketika kondisi membaik, pengelola dan nelayan tidak perlu untuk menunggu fenomena pemutihan karang te rjadi lalu dilakukan pengaturan alat tangkap. Pengaturan penggunaan alat merupakan ide bagus, terutama di area yang rentan terhadap kejadian pemutihan,” kata Dr Nick Graham, co-penulis. “Penelitian baru menyediakan beberapa ide untuk pengelola mengenai keuntungan larangan alat tangkap tertentu.”
Dr Cinner mengatakan bahwa larangan sementara atau mengadakan pelarangan permanen pada penggunaan berbagai macam alat yang dapat digunakan pada manajemen karang yang secara umum – baik di neara berkembang atau negara maju seperti Great Barrier Reef di Australia.
“Prinsipnya dapat digunakan dimanapun. Hal ini menawarkan baik kepada komunitas maupun pengelola terumbu dengan fleksibilitas yang tinggi. Di sekeliling dunia, semakin banyak komunitas yang peduli dan menciptakan berbagai pilihan sendiri, bagaimana cara melindungi terumbu karang mereka dan mereka dapat mengadakan larangan sukarela pada beberapa alat tangkap.
Diterjemahkan dari Science Daily 21 Juni 2009.
SUMBER: GO BLUE INDONESIA
Oleh: jensi
Larangan atau pembatasan penggunaan alat tangkap tipe tertentu dapat menyelamatkan terumbu karang dan populasi ikan untuk dapat bertahan dari serangan gencar perubahan iklim, demikian studi dari ARC Centre of Excellent Coral Reef Study di Universitas James Cook, Wildlife Conservation Society dan kelompok lainnya.
Tim ilmuwan internasional telah mengusulkan larangan penggunanaan alat tangkap seperti senapan tombak, jebakan ikan, dan jaring pukat pantai, untuk dapat membantu dalam perbaikan pada karang dan populasi ikan yang menurun drastis akibat pemutihan karang.
Di sekeliling dunia, terumbu karang mati dalam kondisi menghawatirkan, akibat adanya peningkatan suhu air laut hasil dari pemanasan global.
Penelitian di Kenya dan Papua New Guinea menunjukkan beberapa tipe alat tangkap memikili potensi lebih untuk merusak karang, ikan karang, dan spesies kunci yang dibutuhkan karang untuk pulih dari setelah kejadian pemutihan atau akibat badai.
“Ini menciptakan bahaya ganda, baik karang maupun tipe ikan karang tertentu. Mereka di ambang kehancuran karena penangkapan berlebih dan ditambah pengaruh yang diakibatkan pemutihan semakin memojokan mereka” jelas Dr Cinner. Hasil pembatasan penggunaan alat tangkap dapat menurunkan kerusakan terumbu, populasi ikan, dan meningkatkan kemampuan untuk menopang kesejahteraan penduduk lokal dalam jangka panjang.
“Dari segi ekologi, respon terbaik untuk pemutihan adalah pendekatan pengelolaan terhadap keberadaan karang dan ikan sepenuhnya. Tetapi hal ini cenderung sulit atau tidak dapat diaplikasikan dengan mudah, terutama pada nelayan miskin di negara berkembang”, kata Dr. Tim McClanahan, co-penulis Wildlife Conservation Society. “Pada area dimana pembatasan penangkapan sulit dilakukan , pengelola terumbu karang tidak memiliki banyak pilihan dan tidak dapat melakukan hal lain selain melihat karang mati dan umumnya tidak pulih kembali.”
“Seleksi pembatasan alat tangkap menawarkan pengelola dan nelayan sebuah daerah tengah, ini dapat berupa mengurangi tekanan pada karang dan ikan yang sementara berada dalam fase pemulihan, sementara itu pula harus disediakan beberapa pilihan untuk keberlangsungan hidup nelayan” kata Dr Cinner. Jalan tengah seperti ini umumnya dipilih oleh nelayan. “Di lain pihak, penelitian menunjukan nelayan lebih memilih larangan total dibandingkan dengan larangan penggunaan alat tertentu, karena kebanyakan nelayan menggunakan beberapa tipe alat jadi mereka masih dapat meghasilkan pendapatan jika salah satu alat yang digunakan dilarang. Mereka lebih cenderung menurut.”
Tim menyelidiki efek dari lima tipe alat yang digunakan pada tipe ikan berbeda: tombak, jebakan, kait dan benang, jaring pukat pantai, dan jaring insang. Mereka mendapati tombak merupakan alat yang berakibat fatal diantara semuanya- untuk karang sendiri, spesies ikan yang mudah terkena adalah ikan yang dibutuhkan karang untuk pulih seperti ikan parrot/kakatua, surgeon, trigger yang bersama bulu babi menekan populasi alga, agar karang dapat tumbuh kembali.
“ Target senapan tombak umumnya adalah spesies yang membantu pemulihan terumbu karang, tetapi akibat yang mengejutkan adalah kerusakan terumbu itu sendiri. Ketika ikan ditombak, umumnya ikan akan bersembunyi di balik terumbu sehingga beberapa nelayan akan menghancurkan terumbu untuk mendapatkannya.”kata Dr Cinner.
Tetapi pada negara berkembang, tombak merupakan senjata memancing yang banyak digunakan oleh nelayan miskin karena pembuatannya murah dan hasilnya tinggi, jadi tombak merupakan sumber penghasilan utama nelayan miskin.
“Anda dapat menentukan kebijakan larangan penggunaan alat sewenang-wenang, tetapi anda perlu untuk mempertimbangkan persoalan seperti keringanan, pilihan lain penangkapan, atau alternatif pencaharian yang berpengaruh terhadap nelayan.” kata Dr Shaun Wilson, co-penulis Departemen Konservasi Lingkungan Australia Barat. “Kunci utama dapat berupa edukasi terhadap nelayan mengenai pentingnya habitat terumbu dan spesies yang berpengaruh terhadap kualitas terumbu dan kebutuhan untuk menseleksi apa yang mereka tangkap. Ini berarti nelayan masih dapat menggunakan alat tangkap yang murah dan efektif tanpa perlu merusak habitat dan menurunkan daya pulih terumbu.”
Jebakan ikan dapat mengenai ikan karang yang rentan dan ikan yang berpeeran dalam pemulihan kondisi karang. Jaring pukat pantai mengenai ikan spesies kunci tidak sebanyak jaring insang, jebakan, atau tombak, tetapi sama merusak karang secara langsung dan mengambil jumlah ikan muda dalam jumlah besar.
“Di lokasi yang tingkat ketergantungan pada sumber daya terumbu karangnya tinggi, tidak mungkin melarang semua alat tangkap ini secara permanen. Dengan menciptaan pembtasan sementara untuk alat tipe tertentu, selama fase pemutihan karang, pengelola terumbu dapat menurunkan tekanan pada karang dan populasi ikan untuk sementara waktu ketika ekosistem terumbu dalam kondisi sensitif, tanpa mengakibatkan kesulitan yang tak semestinya terhadap masyarakat yang bergantung padanya.” kata Dr Cinner
“Tentu saja, ketika kondisi membaik, pengelola dan nelayan tidak perlu untuk menunggu fenomena pemutihan karang te rjadi lalu dilakukan pengaturan alat tangkap. Pengaturan penggunaan alat merupakan ide bagus, terutama di area yang rentan terhadap kejadian pemutihan,” kata Dr Nick Graham, co-penulis. “Penelitian baru menyediakan beberapa ide untuk pengelola mengenai keuntungan larangan alat tangkap tertentu.”
Dr Cinner mengatakan bahwa larangan sementara atau mengadakan pelarangan permanen pada penggunaan berbagai macam alat yang dapat digunakan pada manajemen karang yang secara umum – baik di neara berkembang atau negara maju seperti Great Barrier Reef di Australia.
“Prinsipnya dapat digunakan dimanapun. Hal ini menawarkan baik kepada komunitas maupun pengelola terumbu dengan fleksibilitas yang tinggi. Di sekeliling dunia, semakin banyak komunitas yang peduli dan menciptakan berbagai pilihan sendiri, bagaimana cara melindungi terumbu karang mereka dan mereka dapat mengadakan larangan sukarela pada beberapa alat tangkap.
Diterjemahkan dari Science Daily 21 Juni 2009.
SUMBER: GO BLUE INDONESIA
Jumat, 26 Februari 2010
Polisi Tangkap Empat Trawl
25 Februari 2010, 12:20
* 8 Tersangka dan Barang Bukti Diamankan
LANGSA - Pol Air Polres Langsa bekerja sama dengan Dirpol Air Polda NAD, serta Dinas Kelautan Kota Langsa, Senin (22/2) tengah pukul 00.00 WIB dini hari, berhasil mengamankan empat unit boat pukat trawl bersama delapan orang tersangka dan menyita sejumlah barang bukti berupa jaring pukat langga, di kawasan Perairan Kuala Bayeun, Aceh Timur. Penertiban tersebut menyusul semakin merajelelanya aksi perambahan ekosistem laut, hingga terjadinya perselisihan antara nelayan tradisional daerah setempat derngan boat trawl.
Bersama boat trawl, ikut diamankan delapan awak Boat, yaitu masing-masing, AR (35), FS (22), SB (27), SF (23), H (48), dan SS 19), kesemuanya warga Gampong Sungai Paoh, Kecamatan Langsa Barat. SD (43) warga Gampong Lhok Bani dan IA (55), warga Gampong Alue Beurawe, Kecamatan Langsa Kota.
Saat ini barang bukti empat unit boat pukat trawl telah diamanakan di Markas Pol Air, Kuala Langsa. Sedangkan sejumlah alat tangkap dan delapan awak kapal yang telah ditetapkan menjadi tersangka ini telah diamankan di Mapolres Langsa. Kapolres Langsa, AKBP Drs Yosi Muhamartha, melalui Kasat Reskrim, AKP Galih Indra Giri SIK, kepada Serambi, Selasa (23/2) mengatakan, sejumlah anggota Pol Air bekerja sama dengan dengan Pol Air Polda NAD dan dibantu oleh Dinas Kelautan Kota Langsa, Sejak Minggu (21/2) hingga memasuki Senin (22/2) telah melakukan penertiban kawasan perairan Kota Langsa dan sekitarnya dari aksi perambahan ekosistem laut secara brutal oleh pukat trawl.
Pada Senin (22/2) sekitar pukul 00.00 WIB dinihari berhasil diamankan empat unit boat pukat trawl, di antaranya Boat Camar Laut, Boat Sibolang, Boat Rahmat, dan Boat Potana, di kawasan perairan antara perbatasan Kota Langsa dan Aceh Timur, tepatnya di sekitar Pantai Kuala Bayeun. Selain itu pula pihak berwajib berhasil menyita berbagai alat tangkapan ikan dan udang berkapasitas pukat trawl atau pukat harimau.
Sebelumnya diberitakan, nelayan tradisional di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa harus menjerit karena hasil tangkapannya menurun drastis. Kondisi yang terus terjadi sejak 2008, akibat kian merajalelanya penggunaan trawl atau pukat harimau. Namun, kondisi itu terus berlangsung hingga sekarang, dan tidak ada suatu penanganan konkrit yang dilakukan pihak terkait.
Saiful, seorang nelayan di Gampong Seuriget, Kecamatan Langsa Barat, kepada Serambi, Senin (1/2), mengatakan, sejak tahun 2008 lalu hasil tangkapan sekitar 300 nelayan wilayah Langsa Barat menurun drastis. Selain itu juga sejumlah nelayan terpaksa gulung tikar dan beralih ke usaha lainnnya akibat tak mampu memenuhi kebutuhan perawatan Boat, karena pendapatan sehari-hari mereka tidak seimbang dengan hasil tangkapan lautnya.(c42)
Sumber: serambinews.
* 8 Tersangka dan Barang Bukti Diamankan
LANGSA - Pol Air Polres Langsa bekerja sama dengan Dirpol Air Polda NAD, serta Dinas Kelautan Kota Langsa, Senin (22/2) tengah pukul 00.00 WIB dini hari, berhasil mengamankan empat unit boat pukat trawl bersama delapan orang tersangka dan menyita sejumlah barang bukti berupa jaring pukat langga, di kawasan Perairan Kuala Bayeun, Aceh Timur. Penertiban tersebut menyusul semakin merajelelanya aksi perambahan ekosistem laut, hingga terjadinya perselisihan antara nelayan tradisional daerah setempat derngan boat trawl.
Bersama boat trawl, ikut diamankan delapan awak Boat, yaitu masing-masing, AR (35), FS (22), SB (27), SF (23), H (48), dan SS 19), kesemuanya warga Gampong Sungai Paoh, Kecamatan Langsa Barat. SD (43) warga Gampong Lhok Bani dan IA (55), warga Gampong Alue Beurawe, Kecamatan Langsa Kota.
Saat ini barang bukti empat unit boat pukat trawl telah diamanakan di Markas Pol Air, Kuala Langsa. Sedangkan sejumlah alat tangkap dan delapan awak kapal yang telah ditetapkan menjadi tersangka ini telah diamankan di Mapolres Langsa. Kapolres Langsa, AKBP Drs Yosi Muhamartha, melalui Kasat Reskrim, AKP Galih Indra Giri SIK, kepada Serambi, Selasa (23/2) mengatakan, sejumlah anggota Pol Air bekerja sama dengan dengan Pol Air Polda NAD dan dibantu oleh Dinas Kelautan Kota Langsa, Sejak Minggu (21/2) hingga memasuki Senin (22/2) telah melakukan penertiban kawasan perairan Kota Langsa dan sekitarnya dari aksi perambahan ekosistem laut secara brutal oleh pukat trawl.
Pada Senin (22/2) sekitar pukul 00.00 WIB dinihari berhasil diamankan empat unit boat pukat trawl, di antaranya Boat Camar Laut, Boat Sibolang, Boat Rahmat, dan Boat Potana, di kawasan perairan antara perbatasan Kota Langsa dan Aceh Timur, tepatnya di sekitar Pantai Kuala Bayeun. Selain itu pula pihak berwajib berhasil menyita berbagai alat tangkapan ikan dan udang berkapasitas pukat trawl atau pukat harimau.
Sebelumnya diberitakan, nelayan tradisional di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa harus menjerit karena hasil tangkapannya menurun drastis. Kondisi yang terus terjadi sejak 2008, akibat kian merajalelanya penggunaan trawl atau pukat harimau. Namun, kondisi itu terus berlangsung hingga sekarang, dan tidak ada suatu penanganan konkrit yang dilakukan pihak terkait.
Saiful, seorang nelayan di Gampong Seuriget, Kecamatan Langsa Barat, kepada Serambi, Senin (1/2), mengatakan, sejak tahun 2008 lalu hasil tangkapan sekitar 300 nelayan wilayah Langsa Barat menurun drastis. Selain itu juga sejumlah nelayan terpaksa gulung tikar dan beralih ke usaha lainnnya akibat tak mampu memenuhi kebutuhan perawatan Boat, karena pendapatan sehari-hari mereka tidak seimbang dengan hasil tangkapan lautnya.(c42)
Sumber: serambinews.
Senin, 07 Desember 2009
Mangrove Dibabat, Biota Laut Sekarat
Sinar Harapan, Senin, 28 September 2009
OLEH: AUGY SYAHAILATUA, PHD
JAKARTA - Dalam dua dekade terakhir, diperkirakan 35 persen hutan mangrove dunia dikonversikan menjadi areal permukiman penduduk, industri kayu, pertambakan dan lokasi pariwisata. Kebanyakan kegiatan konversi ini terjadi di daerah tropis, termasuk Indonesia. Degradasi kawasan mangrove tidak terlepas dari campur tangan penduduk bumi, yang hampir 90 persen mendiami daerah pesisir. Diperkirakan, laju degradasi hutan mangorve di Indonesia sebesar 200.000 hektare (ha)/tahun. Padahal ekosistem pesisir seperti estuaria, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang sangat diperlukan sebagai pengaman daerah pantai dari gempuran ombak atau membendung laju sedimentasi dari daratan.
Luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 4,5 juta ha, dan yang merupakan kawasan lindung dan konservasi alam seluas 1.099.400 ha atau 31 persen. Penyebarannya hampir merata di seluruh pesisir, namun yang cukup potensial di beberapa pulau seperti Sumatera (19%), Jawa (1,1%), Kalimantan (28%), Sulawesi (1,5%), Maluku (2,8%), Nusa Tenggara (0,1%) dan Papua (38%).
Dari 39 jenis mangrove yang ditemukan di Indonesia, jenis yang sering dijumpai adalah Rhizopora, Bruguiera, Avicennia dan Excoecaria. Sedangkan jenis yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat adalah Rhizopora atau dikenal dengan nama bakau. Bagi masyarakat kita, kayu bakau sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, alat penangkap ikan (sero), dan dijadikan arang. Bahkan arang telah diekspor ke Malaysia sejak beberapa tahun yang lalu.
Bahan pengawet tanin juga dihasilkan dari pohon bakau, yang biasanya digunakan nelayan untuk mengawetkan jaringnya. Dalam industri kayu (plywood) bahan perekatnya dapat berasal dari kayu bakau, dan juga kayu bakau dijadikan material dalam pembuatan chipboard. Hasil kajian dua pakar perikanan Indonesia, Martosubroto dan Naamin, mengungkapkan adanya hubungan yang positif antara luas hutan mangrove dan hasil tangkapan udang. Walaupun hasil ini masih perlu dikonfirmasi lagi, tetapi secara logika banyak daerah mangrove di Indonesia merupakan penghasil udang, seperti pantai timur Sumatera, Cilacap, timur dan selatan Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Semua lokasi ini memiliki hutan mangrove yang potensial.
Jenis-jenis udang yang terdapat di daerah mangrove antara lain udang windu, udang jerbung, udang putih, dan udang api-api. Di samping itu, jenis ikan belanak dan bandeng serta kepiting bakau (Scylla spp) banyak dijumpai di daerah mangrove. Selama ini, fungsi hutan mangrove lebih ditonjolkan sebagai jalur hijau (green belt) pantai. Indonesia pun telah memiliki aturan tentang jalar hijau, seperti SK Dirjen Perikanan Tahun 1975, supaya jalur hijau hutan mangrove minimal selebar 400 meter, sedangkan oleh SK Dirjen Kehutanan tahun 1978 ditetapkan jalur hijau selebar 50 meter di sepanjang pantai atau sepuluh meter di sepanjang jalur sungai/jalan.
Sejauh mana implementasi dari kedua keputusan ini tidak diketahui secara pasti, namun kenyataan yang dihadapi hutan mangrove banyak yang dikonversikan menjadi tambak udang, dan sudah mencapai lebih dari 390.000 ha di tahun 1997. Di Kalimantan Timur, khususnya Delta Mahakam, dampak konversi ini sangat jelas, di mana luasan mangrove 3.200 km2 pada tahun 1986 telah menyusut tinggal 15 persen di tahun 2001, dan diperkirakan kerugiannya sekitar Rp 349.900.000 per tahun. Penyusutan ini akibat pemanfaatan untuk pertambakan udang.
Peranannya dengan ekosistem pesisir lain sangat jelas, yaitu sebagai penghasil zat hara bagi kesuburan perairan, sehingga tingkat produktivitas primer mangrove cukup tinggi selain padang lamun. Peranan ini sekaligus menjadikan hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan daerah pemijahan, asuhan, mencari makan dan perlindungan bagi biota laut seperti udang, kepiting dan ikan. Kepiting merupakan biota laut dominan di daerah mangrove, yang memakan daun mangrove dan serasah lainnya. Kebiasaannya ini sangat berperan dalam membentuk detritus dan daur unsur hara, demikian juga dengan anelida dan nematoda yang hidup dalam redimen hutan mangrove.
Rekomendasi
Manfaat dan fungsi mangrove sangat jelas bagi kehidupan manusia, ekosistem pesisir dan biota laut. Penurunan daya dukung hutan mangrove akibat pemanfaatan lahan dan pembabatan pohon mangrove akan sangat mengurangi fungsi ekologinya, termasuk hubungan dengan ekosistem pesisir lain dan manusia. Namun, di Indonesia pembuktian dampak pengrusakan hutan mangrove secara ilmiah masih sangat terbatas. Padahal, pembuktian ini sangat diperlukan untuk meyakinkan pemerintah, pemangku kepentingan dan masyarakat tentang besarnya efek yang dihasilkan dari pembabatan mangrove yang tidak terkendali. Dengan demikian, proses pembelajaran akibat pembabatan mangrove dan perusakan ekosistem pesisir lainnya seperti estuaria, padang lamun dan terumbu karang belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Tendensi penelitian sebaiknya diarahkan ke lokasi-lokasi mangrove yang potensial, namun mengalami banyak degradasi akibat aktivitas manusia, seperti di pantai timur Sumatera, Kalimantan timur dan Papua. Sehingga, dapat dilakukan studi komparatif antara kondisi mangrove yang baik dan rusak.
Usaha pelestarian hutan mangrove harus terus disosialisasikan dan dilaksanakan, baik secara formal maupun informal. Payung hukum bagi perlindungan hutan mangrove baru mulai disusun pada akhir 2006, tetapi masih perlu waktu untuk merampungkannya.
Untuk itu, semua instansi terkait dapat bekerja sama dalam pelestarian ekosistem ini dan pemangku kepentingan dapat membantu secara aktif. Semua usaha ini dilakukan tidak hanya untuk pemulihan dan meningkatkan peranan hutan mangrove, tetapi juga untuk pelestarian biota laut lainnya yang menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat.
OLEH: AUGY SYAHAILATUA, PHD
JAKARTA - Dalam dua dekade terakhir, diperkirakan 35 persen hutan mangrove dunia dikonversikan menjadi areal permukiman penduduk, industri kayu, pertambakan dan lokasi pariwisata. Kebanyakan kegiatan konversi ini terjadi di daerah tropis, termasuk Indonesia. Degradasi kawasan mangrove tidak terlepas dari campur tangan penduduk bumi, yang hampir 90 persen mendiami daerah pesisir. Diperkirakan, laju degradasi hutan mangorve di Indonesia sebesar 200.000 hektare (ha)/tahun. Padahal ekosistem pesisir seperti estuaria, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang sangat diperlukan sebagai pengaman daerah pantai dari gempuran ombak atau membendung laju sedimentasi dari daratan.
Luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 4,5 juta ha, dan yang merupakan kawasan lindung dan konservasi alam seluas 1.099.400 ha atau 31 persen. Penyebarannya hampir merata di seluruh pesisir, namun yang cukup potensial di beberapa pulau seperti Sumatera (19%), Jawa (1,1%), Kalimantan (28%), Sulawesi (1,5%), Maluku (2,8%), Nusa Tenggara (0,1%) dan Papua (38%).
Dari 39 jenis mangrove yang ditemukan di Indonesia, jenis yang sering dijumpai adalah Rhizopora, Bruguiera, Avicennia dan Excoecaria. Sedangkan jenis yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat adalah Rhizopora atau dikenal dengan nama bakau. Bagi masyarakat kita, kayu bakau sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, alat penangkap ikan (sero), dan dijadikan arang. Bahkan arang telah diekspor ke Malaysia sejak beberapa tahun yang lalu.
Bahan pengawet tanin juga dihasilkan dari pohon bakau, yang biasanya digunakan nelayan untuk mengawetkan jaringnya. Dalam industri kayu (plywood) bahan perekatnya dapat berasal dari kayu bakau, dan juga kayu bakau dijadikan material dalam pembuatan chipboard. Hasil kajian dua pakar perikanan Indonesia, Martosubroto dan Naamin, mengungkapkan adanya hubungan yang positif antara luas hutan mangrove dan hasil tangkapan udang. Walaupun hasil ini masih perlu dikonfirmasi lagi, tetapi secara logika banyak daerah mangrove di Indonesia merupakan penghasil udang, seperti pantai timur Sumatera, Cilacap, timur dan selatan Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Semua lokasi ini memiliki hutan mangrove yang potensial.
Jenis-jenis udang yang terdapat di daerah mangrove antara lain udang windu, udang jerbung, udang putih, dan udang api-api. Di samping itu, jenis ikan belanak dan bandeng serta kepiting bakau (Scylla spp) banyak dijumpai di daerah mangrove. Selama ini, fungsi hutan mangrove lebih ditonjolkan sebagai jalur hijau (green belt) pantai. Indonesia pun telah memiliki aturan tentang jalar hijau, seperti SK Dirjen Perikanan Tahun 1975, supaya jalur hijau hutan mangrove minimal selebar 400 meter, sedangkan oleh SK Dirjen Kehutanan tahun 1978 ditetapkan jalur hijau selebar 50 meter di sepanjang pantai atau sepuluh meter di sepanjang jalur sungai/jalan.
Sejauh mana implementasi dari kedua keputusan ini tidak diketahui secara pasti, namun kenyataan yang dihadapi hutan mangrove banyak yang dikonversikan menjadi tambak udang, dan sudah mencapai lebih dari 390.000 ha di tahun 1997. Di Kalimantan Timur, khususnya Delta Mahakam, dampak konversi ini sangat jelas, di mana luasan mangrove 3.200 km2 pada tahun 1986 telah menyusut tinggal 15 persen di tahun 2001, dan diperkirakan kerugiannya sekitar Rp 349.900.000 per tahun. Penyusutan ini akibat pemanfaatan untuk pertambakan udang.
Peranannya dengan ekosistem pesisir lain sangat jelas, yaitu sebagai penghasil zat hara bagi kesuburan perairan, sehingga tingkat produktivitas primer mangrove cukup tinggi selain padang lamun. Peranan ini sekaligus menjadikan hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan daerah pemijahan, asuhan, mencari makan dan perlindungan bagi biota laut seperti udang, kepiting dan ikan. Kepiting merupakan biota laut dominan di daerah mangrove, yang memakan daun mangrove dan serasah lainnya. Kebiasaannya ini sangat berperan dalam membentuk detritus dan daur unsur hara, demikian juga dengan anelida dan nematoda yang hidup dalam redimen hutan mangrove.
Rekomendasi
Manfaat dan fungsi mangrove sangat jelas bagi kehidupan manusia, ekosistem pesisir dan biota laut. Penurunan daya dukung hutan mangrove akibat pemanfaatan lahan dan pembabatan pohon mangrove akan sangat mengurangi fungsi ekologinya, termasuk hubungan dengan ekosistem pesisir lain dan manusia. Namun, di Indonesia pembuktian dampak pengrusakan hutan mangrove secara ilmiah masih sangat terbatas. Padahal, pembuktian ini sangat diperlukan untuk meyakinkan pemerintah, pemangku kepentingan dan masyarakat tentang besarnya efek yang dihasilkan dari pembabatan mangrove yang tidak terkendali. Dengan demikian, proses pembelajaran akibat pembabatan mangrove dan perusakan ekosistem pesisir lainnya seperti estuaria, padang lamun dan terumbu karang belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Tendensi penelitian sebaiknya diarahkan ke lokasi-lokasi mangrove yang potensial, namun mengalami banyak degradasi akibat aktivitas manusia, seperti di pantai timur Sumatera, Kalimantan timur dan Papua. Sehingga, dapat dilakukan studi komparatif antara kondisi mangrove yang baik dan rusak.
Usaha pelestarian hutan mangrove harus terus disosialisasikan dan dilaksanakan, baik secara formal maupun informal. Payung hukum bagi perlindungan hutan mangrove baru mulai disusun pada akhir 2006, tetapi masih perlu waktu untuk merampungkannya.
Untuk itu, semua instansi terkait dapat bekerja sama dalam pelestarian ekosistem ini dan pemangku kepentingan dapat membantu secara aktif. Semua usaha ini dilakukan tidak hanya untuk pemulihan dan meningkatkan peranan hutan mangrove, tetapi juga untuk pelestarian biota laut lainnya yang menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)