Senin, 07 Desember 2009

Mangrove Dibabat, Biota Laut Sekarat

Sinar Harapan, Senin, 28 September 2009
OLEH: AUGY SYAHAILATUA, PHD

JAKARTA - Dalam dua dekade terakhir, diperkirakan 35 persen hutan mangrove dunia dikonversikan menjadi areal permukiman penduduk, industri kayu, pertambakan dan lokasi pariwisata. Kebanyakan kegiatan konversi ini terjadi di daerah tropis, termasuk Indonesia. Degradasi kawasan mang­rove tidak terlepas dari campur tangan penduduk bumi, yang hampir 90 persen mendiami daerah pesisir. Diperkirakan, laju degradasi hutan mangorve di Indonesia sebesar 200.000 hektare (ha)/tahun. Padahal ekosistem pesisir seperti estuaria, mang­rove, padang lamun, dan terumbu karang sangat diperlukan sebagai pengaman da­erah pantai dari gempuran ombak atau membendung laju sedimentasi dari daratan.

Luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 4,5 juta ha, dan yang merupakan kawasan lindung dan konservasi alam seluas 1.099.400 ha atau 31 persen. Penyebarannya hampir merata di seluruh pesisir, namun yang cukup potensial di beberapa pulau seperti Sumatera (19%), Jawa (1,1%), Kalimantan (28%), Sulawesi (1,5%), Maluku (2,8%), Nusa Tenggara (0,1%) dan Papua (38%).

Dari 39 jenis mangrove yang ditemukan di Indonesia, jenis yang sering dijumpai adalah Rhizopora, Bruguiera, Avicennia dan Excoecaria. Sedangkan jenis yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat adalah Rhizopora atau dikenal dengan nama bakau. Bagi masyarakat kita, kayu bakau sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, alat penangkap ikan (sero), dan dijadikan arang. Bahkan arang telah diekspor ke Malaysia sejak beberapa tahun yang lalu.

Bahan pengawet tanin juga dihasilkan dari pohon bakau, yang biasanya digunakan nelayan untuk mengawetkan jaringnya. Dalam industri kayu (plywood) bahan perekatnya dapat berasal dari kayu bakau, dan juga kayu bakau dijadikan material dalam pembuatan chipboard. Hasil kajian dua pakar perikanan Indonesia, Martosubroto dan Naamin, mengungkapkan adanya hubungan yang positif antara luas hutan mangrove dan hasil tangkapan udang. Walaupun hasil ini masih perlu dikonfirmasi lagi, tetapi secara logika banyak daerah mangrove di Indonesia merupakan penghasil udang, seperti pantai timur Sumatera, Cilacap, timur dan selatan Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Semua lokasi ini memiliki hutan mangrove yang potensial.

Jenis-jenis udang yang terdapat di daerah mangrove antara lain udang windu, udang jerbung, udang putih, dan udang api-api. Di samping itu, jenis ikan belanak dan bandeng serta kepiting bakau (Scylla spp) banyak dijumpai di daerah mangrove. Selama ini, fungsi hutan mangrove lebih ditonjolkan sebagai jalur hijau (green belt) pantai. Indonesia pun telah memiliki aturan tentang jalar hijau, seperti SK Dirjen Perikanan Tahun 1975, supaya jalur hijau hutan mangrove minimal selebar 400 meter, sedangkan oleh SK Dirjen Kehutanan tahun 1978 ditetapkan jalur hijau selebar 50 meter di sepanjang pantai atau sepuluh meter di sepanjang jalur sungai/jalan.

Sejauh mana implementasi dari kedua keputusan ini tidak diketahui secara pasti, namun kenyataan yang dihadapi hutan mangrove banyak yang dikonversikan menjadi tambak udang, dan sudah mencapai lebih dari 390.000 ha di tahun 1997. Di Kalimantan Timur, khususnya Delta Mahakam, dampak konversi ini sangat jelas, di mana luasan mangrove 3.200 km2 pada tahun 1986 telah menyusut tinggal 15 persen di tahun 2001, dan diperkirakan kerugiannya se­kitar Rp 349.900.000 per tahun. Penyusutan ini akibat pemanfaatan untuk pertambakan udang.

Peranannya dengan ekosistem pesisir lain sangat jelas, yaitu sebagai penghasil zat hara bagi kesuburan perairan, sehingga tingkat produktivitas primer mangrove cukup tinggi selain padang lamun. Peranan ini sekaligus menjadikan hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan da­erah pemijahan, asuhan, mencari makan dan perlindungan bagi biota laut seperti udang, kepiting dan ikan. Kepiting merupakan biota laut dominan di daerah mang­rove, yang memakan daun mangrove dan serasah lainnya. Kebiasaannya ini sangat berperan dalam membentuk detritus dan daur unsur hara, demikian juga dengan anelida dan nematoda yang hidup dalam redimen hutan mang­rove.

Rekomendasi

Manfaat dan fungsi mang­rove sangat jelas bagi kehidup­an manusia, ekosistem pesisir dan biota laut. Penurunan daya dukung hutan mangrove akibat pemanfaatan lahan dan pembabatan pohon mangrove akan sangat mengurangi fungsi ekologinya, termasuk hubungan dengan ekosistem pesisir lain dan manusia. Namun, di Indonesia pembuktian dampak pengrusakan hutan mangrove secara ilmiah masih sangat terbatas. Padahal, pembuktian ini sangat diperlukan untuk meyakinkan pemerintah, pemangku kepentingan dan masyarakat tentang besarnya efek yang dihasilkan dari pembabatan mangrove yang tidak terkendali. Dengan demikian, proses pembelajaran akibat pembabatan mangrove dan perusakan ekosistem pesisir lainnya seperti estuaria, padang lamun dan terumbu karang belum dapat dilaksanakan secara maksimal.

Tendensi penelitian sebaiknya diarahkan ke lokasi-lokasi mangrove yang potensial, namun mengalami banyak degradasi akibat aktivitas manusia, seperti di pantai timur Sumatera, Kalimantan timur dan Papua. Sehingga, dapat dilakukan studi komparatif antara kondisi mang­rove yang baik dan rusak.
Usaha pelestarian hutan mangrove harus terus disosia­lisasikan dan dilaksanakan, baik secara formal maupun informal. Payung hukum bagi perlindungan hutan mangrove baru mulai disusun pada akhir 2006, tetapi masih perlu waktu untuk merampungkannya.

Untuk itu, semua instansi terkait dapat bekerja sama dalam pelestarian ekosistem ini dan pemangku kepentingan dapat membantu secara aktif. Semua usaha ini dilakukan tidak hanya untuk pemulihan dan meningkatkan peranan hutan mangrove, tetapi juga untuk pelestarian biota laut lainnya yang menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat.

Tidak ada komentar: