Minggu, 06 Desember 2009

MELAUT BERKURANG

Kamis, 3 Desember 2009 | 03:39 WIB
Gesit Ariyanto


Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Beberapa wujud, di antaranya pasang tinggi, abrasi kian cepat, musim tak terprediksi, serta panen ikan merosot. Nelayan Krui, Lampung Barat, punya kisah. Nelayan generasi sekarang tak bisa menebak musim. Dulu nenek moyang mereka paham betul isyarat langit, posisi bintang. Hanya dengan membaca posisi bintang selatan (berbentuk ikan pari), mereka mengetahui awal musim barat dan timur.

”Sekarang tidak,” kata Edy Hamdan (45), nelayan tradisional Krui, pada pertemuan iklim gagasan Civil Society Forum (CSF). Posisi edar bintang memang masih teratur, tetapi waktu datangnya angin barat dan timur tak lagi bisa diprediksi.

”Empat tahun terakhir memang tak terduga,” kata Arif Iwanda, pengepul ikan di Krui. Setidaknya 40 nelayan bermitra dengannya. Sering kali angin berubah dalam hitungan hari. ”Nelayan singgah sebelum tiba di tujuan sudah biasa. Badai tiba-tiba datang,” kata Arif. Beberapa tahun lalu Arif bisa mengumpulkan ikan rata-rata 2 ton dalam sehari pada musim melaut. Kini jauh dari itu.

Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2008 menunjukkan, hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau 6 bulan. Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.

Kisah nelayan di atas sejalan dengan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). ”Kondisi berubah di laut empat tahun terakhir dan itu merata,” kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

Kelebihan energi

Menurut Edvin, pemanasan global membuat atmosfer kelebihan energi yang bertanggung jawab atas munculnya badai tropis dengan ekor kian panjang.

Arah angin pun berubah cepat. Pemanasan global juga membuat kemarau basah, yang tak bersahabat bagi nelayan serta menyebabkan terbentuknya awan konveksi di atas lautan. Ini menarik massa udara di sekitarnya yang mendatangkan hujan dengan gelombang tinggi. Pada kondisi normal, kata Edvin, musim kemarau bersifat kering—ini mendukung aktivitas nelayan. Fakta Krui merupakan kecenderungan nasional. ”Di pantura Jawa sama,” kata Subandono Diposaptono, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu pada Departemen Kelautan dan Perikanan, sekaligus anggota tim peneliti untuk perubahan iklim di pesisir nasional.

Kawasan pesisir—titik pertemuan laut dan seluruh limpahan daratan—amat rentan. Di saat curah hujan tinggi—ditambah kerusakan lingkungan di kawasan hulu—akan kebanjiran.

Perpaduan kenaikan muka air laut dengan perubahan pola angin mendatangkan gelombang tinggi, yang juga menggenangi kawasan pesisir dalam waktu lama (rob). ”Pesisir Demak dan Pekalongan di Jawa Tengah dulu tergenang beberapa hari dalam setahun. Kini hampir tiada bulan tanpa rob,” katanya.

Sumber: kompas

Kiara: Abaikan Usul Perdagangan Karbon Laut

By Republika Newsroom
Selasa, 01 Desember 2009 pukul 05:08:00

JAKARTA--Saat hutan masyarakat dikapling dan dijadikan lahan untuk proyek Reducing Emissions From Deforestrasion And Degradation (REDD), mayoritas hak dasar warga terampas. Kini isu perdagangan karbon di laut coba diupayakan dengan dalih peran laut Indonesia sebagai penyerap karbon.

Sekretaris Jenderal Koalisi rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), M. Riza Damanik menyatakan, mestinya pemerintah belajar pada sitausi yang terjadi di sektor hutan. “Bukan malah sebaliknya menjual laut Indonesia dalam format perdagangan karbon,” ujarnya, Senin (30/11). Ironisnya, laut tropis Indonesia justru tergolong sebagai pelepas karbon.

Tingginya temperatur permukaan laut lebih dominan sehingga mengakibatkan tekanan parsial CO di permukaan laut lebih tinggi dari atmosfer. Hal ini mengakibatkan perairan tropis berfungsi sebagai pelepas karbon dibandingkan dengan laut di lintang menengah dan tinggi. Studi mengenai peranan lautan global, pada prinsipnya memandang proses penyerapan karbon antropogenik secara keseluruhan dan bukan pada tingkat regional.

“Inilah yang membedakan dengan kemampuan hutan sehingga laut tidak tepat untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon,” ujarnya. Dengan acuan ilmiah inilah delegasi Indonesi harus menghindari perbincangan mekanisme perdagangan karbon di laut. “Ada upaya lain yang lebih bijak dan berspektif kemanusiaan,” ungkapnya. Terlebih, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki tingkat kerentanan tinggi akibat perubahan iklim.

Pada 2007, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan dalam laporannya bahwa perubahan ikllim berdampak pada ekosisem di antaranya bakau, rawa, dan tata ekosistem wilayah pesisir rendah. “Selain itu juga berdampak pada pulau-pulau kecil yang pada akhirnya memperburuk kondisi masyarakat miskin akses, anak-anak kecil, dan kelompok lansia,” katanya.

Setali tiga uang laporan FAO juga menegaskan bahwa perubahan ikllim berdampak pada sektor perikanan di antaranya tingkat pengasaman air laut yang kian tinggi. Naiknya temperatur laut, lanjut Riza, berdampak pada masyarakat pesisir yang tak terlindungi, meningkatkan kerentanan dan meminggirkan warga di pulau-pulau kecil. “Semua ini terjadi akibat keterbatasan adaptasi infrastruktur kritis, ketersediaan sumber daya alan yang menipis dan tata ekosistem pesisir yang rusak,” ujar Riza.

Berpijak pada kedua laporan otoritatif tersebut, KIARA mendesak pemerintak untuk tidak lagi menempatkan pemorelahan dana iklim. “Melainkan lebih mengedepankan keselamatan nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujarnya. KIARA memandang penting bagi Presiden untuk tidak mengajukan atau melibatkan laut Indonesia sebagai solusi mengatasi persoalan perubahan iklim melalui skema perdagangan karbon.

“Gagasan ini dikhawatirkan justru akan menghadirkan malapetaka kemanusiaan yang lebih besar bagi bangsa Indonesia,” tuturnya. KIARA juga menyayangkan keterlibatan makelar karbon pada level nasional yang terus menggiring Indonesia untuk masuk dalam jebakan inisasi perdagangan karbon di laut. c09/ahi

Sumber: Republika

Kamis, 03 Desember 2009

EKOSISTEM PADANG LAMUN HILANG,MASA DEPAN EKOSISTEM PESISIR GLOBAL TERANCAM

Selasa, 21 Juli 2009 09:44

cience Daily. Sebuah tim peneliti internasional memperingatkan bahwa cepatnya penurunan ekosistem padang lamun (seagrass) di seluruh bagian dunia akan mengancam keberadaan jangka panjang dari ekosistem pesisir. Hasil analisis dan temuan ini menunjukkan bahwa 58% ekosistem padang lamun dunia terus mengalami penurunan.

Hasil assesment yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, menunjukkan bahwa kecepatan penurunan padang lamun meningkat menjadi 7% sejak 1990-sebelumnya 1% sebelum tahun 1940-. Berdasarkan 215 studi dan 1.800 pengamatan mulai 1879, tampak bahwa tingkat kehilangan populasi lamun sama dengan tingkat penurunan terumbu karang dan hutan hujan tropis.

Hasil studi ini menyebutkan tingkat kehilangan lamun ini sebesar 42 kilometer persegi per tahun sejak 1980, dan menekankan juga penyebab utama degradasi ini ialah dampak langsung pembangunan pesisir, dan dampak tidak langsung dari penurunan kualitas air.

Tingginya frekuensi “sindrom pesisir” telah menyebabkan hilangnya ekosistem lamun di seluruh dunia, ” jelas Dr.Willliam Dennison dari University of Maryland Center for Environmental Science.”Kombinasi antara pertumbuhan pemukiman, pengembangan di sepanjang garis pantai, dan penurunan sumberdaya alamiah telah menekan ekosistem pesisi kepada kondisi tidak seimbang. Secara global, setiap 30 menit kita kehilangan padang amun seluas lapangan sepak bola.

Hilangnya setiap luasan ini tentunya berakibat hilangnya pula fungsi dan manfaat dari ekosistem ini, seperti menyediakan lokasi pemijahan bagi berbagai jenis ikan dan kekerangan. Bahkan lebih dari itu, konsekuensi yang ditimbulkan bahkan berpengaruh pada ekosistem disekitarnya, karena lamun juga merupakan penghasil biomassa energi serta berbagai jenis satwa ke ekosistem terumbu karang.

Dengan 45% populasi dunia yang hidup di 5% daratan di pesisir, tekanan yang diterima ekosistem padang lamun semakin intensif.”kata Dr. Tim Carruthers dari University of Maryland Center for Environmental Science. Keberadaan lamun sangat mempengaruhi kondisi fisik,kimia dan biologi lingkungan dari perairan pesisir. Komposisi unik dari tumbuhan semi pasang surut ini, mentransisikan aliran air dan dapat membantu mitigasi dampak dari masukan polusi dari nutrien dan sedimen. Dalam suatu lingkungan pesisir yang lengkap, ekosistem padang lamun berada di antara ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang.

Penelitian ini sendiri merupakan bagian dari Global Seagrass Trajectories Working Group yang didukung oleh National Center for Ecological Analysis and Synthesis (NCEAS) di Santa Barbara, California, dibawah National Science Foundation.

sumber: Dirjen Kelautan, Pesisir DAN Pulau-Pulau Kecil

Selasa, 24 November 2009

Kerusakan Terumbu Karang Masih Tinggi di Sumut

Medan, (Analisa)

Tekanan terhadap kerusakan terumbu karang di Sumatera Utara masih tinggi akibat cara tangkap ikan yang ilegal, seperti penggunaan sianida dan bom.
Kondisi ini diperparah dengan masih adanya alat tangkap yang tidak ramah terhadap kehidupan karang, seperti pukat.

“Untuk menekan kerusakan dan memelihara ekosistem terumbu karang. khususnya di Nias, Nias Selatan dan Tapanuli Tengah, bukan hanya meningkatkan kesadaran masyarakat, tetapi harus ada penerapan dan penegakan hukum,” kata Kepala Seksi Pembenihan dan Budidaya Ikan Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Erna Dewi di sela-sela pembentukan Forum Jurnalis Bahari Indonesia (Forjubi) Sumut di Medan, Sabtu (17/10).

Menurutnya, kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan sehingga perlu ditingkatkan sosialisasi tentang upaya melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Sumut merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki terumbu karang yang besar.

Erna yang juga Kuasa Penggunaan Anggaran Coral Reef Rehabilition and Management Programe (Coremap) menegaskan, sanksi hukum dinilai sangat perlu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga ekositem terumbu karang dan efek jera bagi pelakunya.

Meski terumbu karang di perairan Nias, Nias Selatan dan Tapanuli Tengah masih cukup tinggi tetapi harus diakui sudah ada perbaikan menyusul kesadaran yang mulai tumbuh di tengah masyarakat khususnya nelayan tradisional.

“Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) secara rutin melakukan evaluasi kondisi terumbu karang yang memberikan banyak keuntungan kepada manusia, hewan dan alam sekitarnya.

Pekan depan, evaluasi akan dilakukan di perairan Nias,” ujarnya. Lebih lanjut dikatakannya, selain untuk menjaga produksi ikan dan biota laut lainya, ekositem terumbu karang juga sangat berperan dalam menangani terjadinya pemanasan global yang menjadi isu lingkungan dunia saat ini.

Forjubi Sumut Terbentuk

Sementra itu, Forum Jurnalis Bahari Indonesia (Forjubi) Sumut yang beranggotakan para jurnalis media cetak dan elektonik yang peduli terhadap kelestarian terumbu karang terbentuk.

Untuk periode pertama, Forjubi Sumut yang menjadi Ketua adalah Defri Yenni, wartawan Medan Bisnis. Forum ini diharapkan dapat memudahkan penyebaran informasi tentang konservasi terumbu karang di Sumatera Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya.
(msm)
Source: Harian Analisa

250 Lumba-lumba Pemberi Tanda Gempa


PADANG, KAMIS — Sejumlah 250 lumba-lumba menjadi pemberi tanda terjadinya gempa berkekuatan 7,4 skala Richter di Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara, Kamis (12/2).

Sekitar 12 jam sebelum gempa besar yang terjadi pukul 00. 35, sebanyak 250 lumba-lumba itu sudah bermigrasi bersama dari Talaud ke sekitar daratan Filipina di utara Pulau Sulawesi.

Ade Edward dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengatakan, peristiwa migrasi ini dirilis sejumlah televisi. Sebelumnya, para ahli juga pernah menduga bahwa lumba-lumba bisa menjadi salah satu sistem peringatan dini yang alami.

"Fakta ini perlu ditelusuri secara ilmiah. Hal ini tentu sangat menggembirakan bagi masyarakat di daerah rawan gempa-tsunami," kata Ade yang mengaku telah mendiskusikan fenomena ini dengan sejumlah ahli.

Dia berharap, pemerintah daerah di Provinsi Sumatera Barat menyikapi fakta ini dengan menambah alat pemantau di laut yang bisa menangkap pergerakan lumba-lumba. Daerah yang terutama membutuhkan peringatan dini adalah daerah di sepanjang pantai barat Sumatera serta di Mentawai. (ART)

Source: kompas.com