Minggu, 16 Mei 2010
Whale Shark (Rhincodon typus)
Whale shark atau hiu paus merupakan ikan terbesar di dunia. Panjangnya bisa mencapai 14 meter dengan berat 15 ton. Ukuran rata-ratanya sekitar 7.6 m walapun demikian tidak termasuk Paus. Hiu paus ini memiliki nama yang berbeda-beda di pelbagai tempat. Di Aceh dikenal dengan “Hiu Bintang” dan di daerah indonesia lainnya di sebut “Hiu Totol”karena tubuhnya mempunyai corak totol-totol putih, sedangkan di Banten disebut “Hiu Bodoh” karena gerakannya yang sangat lambat bila dibandingkan dengan hiu-hiu yang lain.
Klasifikasi
Kingdom Animalia (animals)
Phylum Chordata
SubPhylum Vertebrata (vertebrates)
Class Chondrichthyes (cartilaginous fish)
Subclass Elasmobranchii (sharks and rays)
Order Orectolobiformes
Family Rhincodontidae
Genus Rhincodon
Species typus
Whale shark memiliki mulut yang besar, lebarnya dapat mencapat 4 feet (1.4 m) dengan 3000 gigi yang sangat kecil sekali. Whale Shark merupakan Filter Feeder atau menyaring makanannya yang sangat kecil melalui insangnya yang sangat besar dengan cara membuka mulutnya lebar-lebar ketika berenang dan dapat mencapai 1500 galon (6000 liter) air yang dapat disaringnya. Makanannya adalah plankton, krill, ikan-ikan kecil, dan cumi.
Di dunia Whale shark dapat ditemukan di Gladden Spit di Belize; Ningaloo Reef di Australia bagian Barat; Ăštila di Honduras; Donsol, Pasacao dan Batangas in the Philippines; off Isla Mujeres dan Isla Holbox di Yucatan Mexico. Di Indonesia Whale Shark pernah di temukan di Taman Nasional Ujung Kulon National, Sabang NAD, Sidoarjo dan Selat Madura; Nosy Be di Madagascar, Off Tofo Reef di Mozambique, dan Tanzanian yaitu di Mafia, Pemba and Zanzibar.
Whale shark merupakan hewan yang soliter, sehingga sangat jarang ditemui Whale Shark ditemukan dalam kumpulan yang besar. Whale Shark dapat hidup di dekat pantai maupun di lepas pantai. Whale shark menghabiskan lebih banyak hidupnya di dekat permukaan air. Hal tersebut berkaitan erat dengan makanannya yaitu plankton dan biota kecil lainnya yang berada di permukaan.
CARA BERENANG
Tidak seperti kebanyakan hiu lainya yang merupakan perenang cepat, Whale shark merupakan hiu yang pergerakannya lambat Kecepatannya tidak melebihi 5 km/jam. Hal tersebut karena gaya berenang Whale shark dengan cara menggerakan seluruh badannya, tidak seperti hiu kebanyakan yang hanya menggerakan ekornya untuk bergerak. Whale Shark dapat menyelam sampai kedalaman 700 meter.
Whale shark tidak membahayakan bagi para penyelam. Bahkan di beberapa tempat di dunia Whale shark dijadikan sebagai objek seperti di Bay Islands in Honduras, Thailand, Philippine, Maldives, Red Sea, Western Australia (Ningaloo Reef, Christmas Island), Belize, Tofo Beach Mozambique, Sodwana Bay (Greater St. Lucia Wetland Park) South Africa, Galapagos Islands, Mexico, Seychelles, West Malaysian, Sri Lanka dan Puerto Rico. orang beramai untuk berenang dan menyelam di samping Whale shark.
REPRODUKSI
Whale shark merupakan hewan ovoviviparous, dimana melahirkan bayi kecilnya yang berukuran 60 cm. Whale shark mencapai kematangan pada umur 30 tahun dan pada umur tersebut Whale shark sudah dapat bereproduksi. Umur Whale shark dapat mencapai 100-150 tahun.
STATUS
Whale Shark merupakan target perikanan komersil di bebepa tempat. Di hongkong Whale shark menjadi komoditi untuk diambil daging dan finnya sebagai bahan sup. Mereka biasanya menangkapnya pada saat hiu ini berkumpul. Berdasarkan Status IUCN Whale Shark termasuk dalam kategori vulnerable/rentan. Seluruh aktivitas perikanan seperti menjual, mengekspor dan impor untuk tujuan komersial telah dilarang di Filipina sejak tahun 1998. Di India sejak tahun 2001. Dan Taiwan pada May 2007. Beberapa karakter biologi dari Whale Shark membuat Whale shark rentan terhadap ekploitasi, diantaranya: ukurannya besar, pertumbuhan yang lambat, lambat mencapai usia matang, dan umurnya panjang.
dari berbagai sumber
Inilah 11 Spesies Baru Biota Laut
11 spesies baru yang ditemukan di Raja Ampat (dari atas, kiri ke kanan) masing-masing Pterois andover, Pterocaesio monikae, Pseudochromis jace, Pseudanthias charlenae, Pictichromus caitlinae, Melanotaenia synergos, Chrysiptera giti, Paracheilinus nursalim, Hemiscyllium galei, Corythoichthys benedetto, dan Hemiscyllium henryi. (foto by Conservation International)
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Alam Indonesia (LIPI), Suharsono, di Jakarta, Senin (19/4/2010), memperkenalkan 11 nama spesies biota laut baru yang ditemukan di perairan Raja Ampat, Kepala Burung Papua Barat.
Kesebelas spesies baru tersebut adalah Hemiscyllium galei, atau hiu berjalan yang tampak seperti hiu kecil dengan warna bentol-bentol seperti tokek yang berjalan di dasar lautan. Ikan tersebut ditemukan oleh peneliti Australia, Allen dan Unmack pada 2008 dan namanya diambil dari nama Jeffrey Gale.
Hemiscyllium henryi, sejenis hiu berjalan yang mirip dengan Hemiscyllium galei namun berbeda bentuk corak dan warnanya dengan H.galei. Hiu berjalan tersebut ditemukan Allen dan Erdmann pada 2008 dan namanya diambil dari nama Wolcott Henry.
Melanotaenia synergos yang ditemukan Allen dan Unmarck pada 2008 yang namanya diambil dari nama Synergos Institute. Corythoichthys benedetto, sejenis kuda laut yang tampak seperti buaya yang sangat ramping. Ditemukan Allen dan Erdmann pada 2008 dan namanya diambil dari nama mantan perdana menteri Italia, Benedetto Craxi.
Pterois andover yang sejenis pterois berwarna merah yang ditemukan Allen dan Erdmann pada 2008 yang namanya diambil dari nama Sindhuchajana Sulistyo. Pseudanthias charlenae, ikan kecil berwarna merah muda cerah yang namanya diambil dari nama Pangeran Monaco, Albert II.
Pictichromus caitlinae sejenis ikan kecil berwarna cerah yang ditemukan Allen, Gill, dan Erdmann pada 2008 yang namanya diambil dari nama Caitlin Elizabeth Samuel, sebagai hadiah ulang tahun Caitlin dari orangtuanya, Kim Samuel Johnson.
Pseudochromus jace ikan kecil unik yang ditemukan Allen, Gill, dan Erdmann pada 2008 yang namanya merupakan singkatan dari nama Jonathan, Alex, Charlie, dan Emily, yang merupakan keempat anak Lisa dan Michael Anderson.
Chrysiptera giti, ikan kecil yang tampak berduri ditemukan oleh Allen dan Erdmann pada 2008 dan namanya diambil dari nama perusahaan yang dimiliki Enki Tan dan Cherie Nursalim, yakni perusahaan GITI.
Paracheilinus nursalim, yang ditemukan Allen dan Erdmann pada 2008 dan namanya diambil dari nama Sjamsul dan Itjih Nursalim.
Pterocaesio monikae diambil dari nama Lady Monica Bacardi
Kesebelas nama spesies tersebut diberikan oleh para pemenang lelang dalam pelelangan "Blue Auction" yang digelar di Monaco. Disampaikan Suharsono, hasil lelang tersebut akan digunakan untuk memajukan ilmu penamaan spesies atau taksonomi di Indonesia. Penemuan spesies baru tersebut merupakan kerjasama LIPI dengan Conservation Internasional.
sumber: kompas.com
Jumat, 14 Mei 2010
Lamun Sebagai Ekosistem Penting
Lamun (seagrass)adalah tumbuhan berbunga yang hidup di daerah teluk yang terlindung, laguna, dan perairan yang dangkal lainnya. vegetasi yang berbentuk seperti rumput ini tumbuh merata dan berkembang menjadi menjadi padang rumput luas. Padang lamun ini terbantuk dalam waktu yang beberapa dekade. Tercatat Ada tujuh spesies lamun berbeda yang dan masing memberikan fungsi ekologis penting yang berbeda pula.
Lamun adalah salah satu komunitas alami yang paling produktif di dunia dan merupakan kontributor utama ke jaring makanan laut. Ribuan tanaman dan binatang hidup di antara padang lamun dalam sebuah komunitas yang kompleks dan rentan. Penyu dan manate salah satu hewan yang mencari makan di padang lamun. Berbagai macam jenis udang, kepiting, cacing, siput, dan ikan kecil menghabiskan seluruh hidup mereka di padang lamun. Bahkan ikan besar dan burung laut bahkan mengunjungi padang lamun untuk mencari mangsa binatang-binatang yang lebih kecil.
Lamun mempunyai peranan sebagai sediment trap dan menjaga kualitas kualitas air dengan menyeimbangkan sediment di perairan dan menyaring polutan di perairan.
Fungsi lamun (seagrass)
1. Secara ekonomi, jutaan hektar padang lamun menyokong perikanan baik untuk kepentingan komersil maupun rekreasi
2. Menyediakan daerah pengasuhan bagi hewan-hewan penting seperti penyu, manate, dan dugong
3. Menyediakan makanan bagi spesies-spesies lainnya
4. Meningkatkan kualitas perairan, dengan fungsinya sebagai sediment trap dan penyaring polutan.
5. Mengurangi pantai dari energi gelombang
7 spesies lamun (Seagrass)yang ada adalah:
1. Turtle grass (Thalassia testudinum)
2. Shoal grass (Halodule wrightii)
3. Manatee grass (Syringodium filiforme)
4. Star grass (Halophila engelmannii)
5. Widgeon grass (Ruppia maritima)
6. Paddle grass (Halophila decipiens)
7. Johnson’s sea grass (Halophila johnsonii)
Jumat, 12 Maret 2010
Alga Merah, Si Ampuh yang Semula Berwarna Hijau
SURABAYA, KOMPAS.com — Alga (ganggang) merah atau red algae dipandang paling ampuh menangkal radikal bebas. Demikian kata Kepala Poli Obat Tradisional Indonesia RSUD Dr Soetomo Surabaya dr Arijanto Jonosewojo, SpPD, di Surabaya, Jumat (11/12/2009).
Dia mengatakan, suplemen dan multivitamin kimia yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama dikhawatirkan menyebabkan penumpukan prooksidan atau radikal bebas yang bisa memicu terjadinya kanker dan diabetes melitus.
Asta Xanthine, zat aktif yang terdapat pada alga merah, mempunyai kandungan anti-oksidan 6.000 kali lebih banyak dibandingkan vitamin C dan 1.000 kali vitamin E. Karena itu, selain mempunyai kemampuan menangkal radikal bebas secara alami, alga merah juga berfungsi sebagai anti-aging atau mencegah penuaan.
"Alga merah juga bisa digunakan untuk memperlancar sirkulasi darah, memperbaiki sel-sel yang rusak, dan memproduksi insulin dalam darah," katanya.
Untuk menghasilkan zat Hematococcus pluviallis yang terdapat pada Astaxanthine, alga merah perlu proses yang panjang. Awalnya, alga merah tidak bewarna merah, tetapi hijau.
Alga merah yang awalnya bewarna hijau dimasukkan ke dalam sebuah tabung yang mendapatkan sinar matahari yang cukup. Karena mendapat sinar matahari yang cukup, tumbuhan berklorofil tersebut berubah warna menjadi merah.
"Pengembangbiakan alga merah saat ini masih dilakukan di Hawaii, meskipun aslinya berasal dari Jepang," katanya.
Sementara ini di Indonesia, alga merah belum banyak diproduksi secara massal karena belum ada yang mengembangbiakkannya. "Kalaupun ada, pasti harganya sangat mahal karena harus diimpor dari luar negeri," katanya. (*)
Hiu Tutul ke Probolinggo Tiap Tahun
Indonesia, dalam hal ini perairan Probolinggo, termasuk satu dari sekitar 10 negara di dunia yang setiap tahun dijadikan persinggahan.
Tahun ini, sejumlah hiu tutul tampak berenang sampai ke permukaan air di perairan laut Kabupaten Probolinggo. Para nelayan acap kali melihatnya.
Ecocean, organisasi nirlaba yang fokus pada penelitian dan kampanye penyelamatan hiu tutul (whale shark), tertarik mendokumentasikan fenomena ini. Organisasi yang berkantor pusat di Perth, Australia, tersebut mengirim seorang peneliti guna mendokumentasikan dan meneliti hiu tutul sejak Rabu (9/2).
”Indonesia, dalam hal ini perairan Probolinggo, termasuk satu dari sekitar 10 negara di dunia yang setiap tahun dijadikan persinggahan. Yang menarik, di sini periodenya setiap tahun tetap. Di tempat lain, periodenya tidak tentu,” kata Darcy Bradley, peneliti Ecocean saat ditemui seusai mengambil gambar hiu tutul.
Di perairan milik sekitar 100 negara, hiu tutul pernah menampakkan diri. Sebagian besar kemunculan ikan yang panjangnya bisa sampai 12 meter serta berat 21 ton itu sifatnya acak. Selain di Probolinggo, hiu tutul mampir, di antaranya, di Ningaloo (Australia), Donsol (Filipina), Isla Mujeres (Meksiko), Mozambik, dan Kepulauan Maladewa.
Menurut Darcy, hiu itu datang untuk mencari plankton. Belum diketahui dari perairan mana asal hiu itu. Adapun habitat hidupnya diperkirakan di perairan tropis.
Hiu tutul adalah satwa langka yang belum banyak diteliti sehingga pengetahuan tentang satwa itu masih minim. Makanan pokok hiu tutul adalah plankton. Keberadaan hiu tutul menjadi penting karena bisa menjadi indikator kualitas ekosistem laut.
Dalam laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), hiu tutul masuk dalam daftar merah. Satwa yang umurnya bisa mencapai 70 tahun itu rawan punah.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Probolinggo Tutug Edi Utomo menyatakan, fenomena hiu tutul di perairan Kabupaten Probolinggo akan dimanfaatkan sebagai ekowisata. Probolinggo memiliki Pantai Bentar yang bisa dijadikan gerbang masuk wisatawan.
”Tentu saja, pemerintah daerah akan ikut menjaga kelestarian hiu tutul. Di kalangan masyarakat nelayan setempat pun, hiu tutul dipercaya sebagai tanda banyaknya ikan-ikan kecil sehingga selama ini tidak pernah ada perburuan hiu tutul oleh warga lokal,” kata Tutug. (LAS)
sumber: kompas.com
KIARA: UU PESISIR SIMPAN POTENSI BAHAYA
Saturday, 13 March 2010 03:44
Denpasar, 12/3 (Antara/FINROLL News) - Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengimbau Pemerintah Kabupaten/Kota yang berwilayah pesisir agar mewaspadai potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
"Pascapermohonan gugatan uji materi Undang-Undang ini di Mahkamah Konstitusi, Kamis lalu, membuktikan hal ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU tersebut dalam kebijakan daerah," kata Abdul Halim, koordinator Program KIARA, kepada ANTARA, di Denpasar, Jumat petang.
Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral.
"Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan pelbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.
Berdasarkan data jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia pada 2002, terdapat 219 kabupaten dan kota atau sama dengan 68 persen wilayah pemerintahan di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir, yang terus tumbuh pascaberkembangnya pemekaran wilayah belakangan ini.
Tiap-tiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Perlu perhatian yang berbeda pula untuk mengelola wilayah pesisir tersebut.
Jika demikian, katanya, kebijakan dan instrumen kelembagaan yang dirumuskan pun juga tak bisa disamakan di semua wilayah Indonesia. Pula disebabkan perbedaan karakteristik ekonomi-politik dan sosial-budaya yang dijalani oleh masyarakat pesisir di pelbagai wilayah.
"Sebaliknya, pemerintah melalui Undang-Undang ini tidak mengindahkan keragaman karakter wilayah pesisir, dengan mendorong komersialisasi perairan pesisir," katanya.
Ketiadaan keterkaitan kebijakan publik dengan hajat hidup masyarakat kian mempertegas kesembronoan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dia memberi contoh, di Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Bengkulu, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dihadapkan pada keberadaan perusahaan tambang pasir besi yaitu PT Selomoro Banyu Arto yang mengganggu pola penghidupan mereka.
Sebelum perusahaan besar itu beroperasi, dalam tempo lima hingga enam jam per hari pada malam hari, nelayan penangkap udang alam bisa memperoleh pendapatan antara Rp60.000-Rp200. 000.
Sebaliknya, sejak perusahaan tambang pada 2008 beroperasi dan melakukan pembendungan muara sungai, sangat sulit bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan uang sebesar Rp20.000 dari hasil menangkap udang alam.
"Bertolak dari fakta di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menutup mata atas persoalan di daerah. Seperti terurai dalam UU Nomor 27/2007 tentang PWP3K, pemilik modal boleh melakukan privatisasi dan eksploitasi SDA pesisir dan laut selama 60 tahun," katanya.
Sumber: http://www.news. id.finroll. com/rilis- press/236673- kiara-uu- pesisir-simpan- potensi-bahaya. html
Denpasar, 12/3 (Antara/FINROLL News) - Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengimbau Pemerintah Kabupaten/Kota yang berwilayah pesisir agar mewaspadai potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
"Pascapermohonan gugatan uji materi Undang-Undang ini di Mahkamah Konstitusi, Kamis lalu, membuktikan hal ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU tersebut dalam kebijakan daerah," kata Abdul Halim, koordinator Program KIARA, kepada ANTARA, di Denpasar, Jumat petang.
Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral.
"Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan pelbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.
Berdasarkan data jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia pada 2002, terdapat 219 kabupaten dan kota atau sama dengan 68 persen wilayah pemerintahan di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir, yang terus tumbuh pascaberkembangnya pemekaran wilayah belakangan ini.
Tiap-tiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Perlu perhatian yang berbeda pula untuk mengelola wilayah pesisir tersebut.
Jika demikian, katanya, kebijakan dan instrumen kelembagaan yang dirumuskan pun juga tak bisa disamakan di semua wilayah Indonesia. Pula disebabkan perbedaan karakteristik ekonomi-politik dan sosial-budaya yang dijalani oleh masyarakat pesisir di pelbagai wilayah.
"Sebaliknya, pemerintah melalui Undang-Undang ini tidak mengindahkan keragaman karakter wilayah pesisir, dengan mendorong komersialisasi perairan pesisir," katanya.
Ketiadaan keterkaitan kebijakan publik dengan hajat hidup masyarakat kian mempertegas kesembronoan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dia memberi contoh, di Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Bengkulu, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dihadapkan pada keberadaan perusahaan tambang pasir besi yaitu PT Selomoro Banyu Arto yang mengganggu pola penghidupan mereka.
Sebelum perusahaan besar itu beroperasi, dalam tempo lima hingga enam jam per hari pada malam hari, nelayan penangkap udang alam bisa memperoleh pendapatan antara Rp60.000-Rp200. 000.
Sebaliknya, sejak perusahaan tambang pada 2008 beroperasi dan melakukan pembendungan muara sungai, sangat sulit bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan uang sebesar Rp20.000 dari hasil menangkap udang alam.
"Bertolak dari fakta di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menutup mata atas persoalan di daerah. Seperti terurai dalam UU Nomor 27/2007 tentang PWP3K, pemilik modal boleh melakukan privatisasi dan eksploitasi SDA pesisir dan laut selama 60 tahun," katanya.
Sumber: http://www.news. id.finroll. com/rilis- press/236673- kiara-uu- pesisir-simpan- potensi-bahaya. html
Kamis, 11 Maret 2010
TAMBAK HANCURKAN CAGAR ALAM TANJUNG PANJANG POHUWATO
Kamis, 11 Maret 2010 12:07 WIB | Warta Bumi | Masalah Lingkungan | Dibaca 408 kali
Gorontalo (ANTARA News) - Pembukaan lahan tambak dalam skala besar telah menghancurkan sebagian besar ekosistem yang ada di kawasan cagar alam tanjung panjang, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.
Hal itu diungkapkan Dr Rignolda Djamaludin, seorang akademisi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, di Gorontalo, Kamis.
Eksploitasi lahan mangrove itu, telah dimulai sejak era tahun 1980-an dan berlangsung hingga kini. Lebih dari 50 persen lahan mangrove di kawasan ini terkonversi menjadi tambak.
Cagar alam Tanjung Panjang seluas 3.000 hektare itu ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut/TGHK 362/85). Cagar alam tersebut merupakan habitat berbagai hewan dan binatang, antara lain babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam.
"Dulu, burung maleo (Macrocephalon maleo) endemik Sulawesi, dilaporkan masih ada di daerah ini, tetapi sekarang menghilang," ujarnya.
Menurut dia, Tanjung Panjang merupakan penyangga terbesar ekosistem Teluk Tomini, yang mencakup sebagian wilayah sulawesi tengah dan sulawesi utara.
Sementara itu, menurut keterangan kepala desa Patuhu , Zulkarnain Duwawolu, salah satu desa yang terdapat di kawasan Cagar Alam tersebut, kini terdapat 1.115 hektare diantaranya yang telah dikonversi menjadi tambak.
Tambak-tambak ini pada umumnya dimiliki oleh pengusaha yang berasal dari sulawesi selatan, dan hasilnya juga dipasarkan di sulawesi selatan dan Palu, sulawesi tengah. (SHS/B010)
Sumber: http://www.antarane ws.com/berita/ 1268284035/ tambak-hancurkan -cagar-alam- tanjung-panjang- pohuwato
Gorontalo (ANTARA News) - Pembukaan lahan tambak dalam skala besar telah menghancurkan sebagian besar ekosistem yang ada di kawasan cagar alam tanjung panjang, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.
Hal itu diungkapkan Dr Rignolda Djamaludin, seorang akademisi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, di Gorontalo, Kamis.
Eksploitasi lahan mangrove itu, telah dimulai sejak era tahun 1980-an dan berlangsung hingga kini. Lebih dari 50 persen lahan mangrove di kawasan ini terkonversi menjadi tambak.
Cagar alam Tanjung Panjang seluas 3.000 hektare itu ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut/TGHK 362/85). Cagar alam tersebut merupakan habitat berbagai hewan dan binatang, antara lain babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam.
"Dulu, burung maleo (Macrocephalon maleo) endemik Sulawesi, dilaporkan masih ada di daerah ini, tetapi sekarang menghilang," ujarnya.
Menurut dia, Tanjung Panjang merupakan penyangga terbesar ekosistem Teluk Tomini, yang mencakup sebagian wilayah sulawesi tengah dan sulawesi utara.
Sementara itu, menurut keterangan kepala desa Patuhu , Zulkarnain Duwawolu, salah satu desa yang terdapat di kawasan Cagar Alam tersebut, kini terdapat 1.115 hektare diantaranya yang telah dikonversi menjadi tambak.
Tambak-tambak ini pada umumnya dimiliki oleh pengusaha yang berasal dari sulawesi selatan, dan hasilnya juga dipasarkan di sulawesi selatan dan Palu, sulawesi tengah. (SHS/B010)
Sumber: http://www.antarane ws.com/berita/ 1268284035/ tambak-hancurkan -cagar-alam- tanjung-panjang- pohuwato
Senin, 08 Maret 2010
MENGELOLA STOK IKAN BERKELANJUTAN
Senin, 8 Maret 2010 | 02:54 WIB
YONVITNER
Dr Alan F Koropitan mengutip laporan Cheung dan kawan-kawan dalam jurnal Global Change Biology, peningkatan CO sampai 720 ppm dapat berdampak pada penurunan 20 persen stok perikanan Indonesia pada 2100.
Penurunan stok ikan kita pada 2100 bukan hanya domain dari peningkatan CO di udara hingga 720 ppm dengan skenario tingkat emisi seperti sekarang.
Perlu ditegaskan, CO hanya merupakan salah satu material antropogenik, baik di udara maupun di perairan, yang dapat berperan esensial bagi makhluk hidup. Keberadaan CO di perairan menjadi penting untuk bekerja fitoplankton dalam proses produksi primer sehingga tropik level dapat bekerja dengan baik.
Dalam konteks proses produksi primer, kebutuhan akan CO penting sebagai bahan pakan bagi tropik level pertama. Sementara sumber daya ikan berada pada level menengah dan tropik atas. Fakta empiris menunjukkan, penurunan stok ikan yang terjadi adalah sebagai fungsi pertumbuhan, perekrutan, mortalitas alami, dan penangkapan, serta pengaruh antropogenik, salah satunya CO.
Indikator biologi ekologi
Penurunan stok ikan dapat dievaluasi dari beberapa indikator biologi-ekologi, seperti biomassa dan ukuran ikan. Penelitian PKSPL IPB tahun 2009 di Perairan Laut Aru dan Banda menunjukkan, ukuran ikan tongkol yang tertangkap pada umumnya sama dengan yang tertangkap Lease, yaitu berukuran 48-54,15 cm (Syahailatua, et al. 1993).
Tangkapan ikan tenggiri ukurannya mencapai 87 cm, cakalang mencapai 50,84 cm. Peluang tangkapan dari potensi ikan tongkol yang berukuran besar masih cukup tinggi di perairan. Adapun ikan cakalang sudah mencapai ukuran maksimum tumbuh di perairan tersebut dan belum mencapai tangkapan maksimum, dan masih ada peluang penangkapan.
Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), untuk kelompok ikan karang yang mengalami penurunan ukuran dari rata-rata tangkap 50 cm, saat ini dominan tertangkap ukuran 46 cm. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di perairan timur Indonesia. Bandingkan dengan penelitian Faunce et al (2002).
Tangkapan ikan kakap merah di Teluk Biscay antara 25-30 cm, lebih rendah dari yang tertangkap di perairan Maluku. Dari penurunan ukuran tangkap ini terbukti bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tangkap telah dibatasi oleh peningkatan intensitas tangkap.
Selain kemampuan tumbuh, faktor lainnya yang memengaruhi stok ikan adalah karakteristik ruaya ikan (migratory species). Secara riil biomassa produksi perikanan tuna tidak mengalami penurunan, tetapi dari segi ukuran memang telah terjadi penurunan. Kondisi ini memberikan bukti bahwa intensitas penangkapan yang tinggi telah menyebabkan turunnya ukuran tangkap ikan tuna.
Sebagai ikan yang melakukan migrasi dalam geografis yang luas, tuna akan selalu berpindah setiap waktu. Perairan laut Indonesia bukanlah tempat permanen dari ikan tuna dunia.
Analisis The Investigation Society of Tuna Fisheries (Sadhori, 1985) di Indonesia menyebutkan, waktu penangkapan tuna Samudra Hindia tidak terfokus pada satu lokasi saja dan selalu terjadi perubahan migrasi bulanan ikan tuna.
Catatan yang mengejutkan diungkapkan peneliti Dr Anthony Lewis dalam National Tuna Congress (Kongres Nasional tentang Tuna) di General Santos City, Filipina, 2009. Disebutkan bahwa migrasi ikan tuna dunia ternyata bermuara ke perairan Maluku Utara. Tentu hal ini memberikan peluang pada peningkatan produksi ikan tuna Indonesia.
Intensitas tangkapan
Fakta empiris bahwa produktivitas penangkapan ikan tuna di Samudra Hindia sebesar 281,2 kg/hari turun menjadi 177 kg/setting (Astuin, 2001). Peningkatan armada mencapai 66 persen, sedangkan rasio penurunan produktivitas tuna hanya sekitar 54 persen.
Artinya, peningkatan armada kapal jauh lebih tinggi dari penurunan hasil tangkapan tuna atau 47 persen penurunan produksi bulanan. Hasil penelitian BRKP 2007 menunjukkan, telah terjadi perubahan ikan pelagis sebagai konsekuensi penyusutan stok (biomassa) dan peningkatan upaya perikanan pukat cincin semiindustri yang tak terkontrol.
Penurunan produksi ikan pelagis diduga akibat alterasi spesies serta kompetisi makanan dan ruang yang menjadi habitat ikan. Tekanan penangkapan tidak seimbang dengan daya pulih stok tersebut. Jumlah kapal aktif dan jumlah trip makin menurun, tetapi jumlah hari operasional di laut meningkat.
Berdasarkan data statistik tahun 2007-2008, produksi perikanan tangkap di laut meningkat 2,71 persen dari 4,73 juta ton tahun 2007 meningkat menjadi 4,86 juta ton pada 2008.
Jumlah kapal penangkap ikan segala ukuran pada 2007 sebanyak 590.314, sedangkan pada 2008 menjadi 590.380 atau meningkat 0,01 persen. Pada 2007, jumlah nelayan perikanan tangkap di laut 2,75 juta jiwa dan 2,77 juta jiwa pada 2008 atau meningkat 0,8 persen.
Pengelolaan berkelanjutan
Untuk melindungi penurunan stok ikan tangkap, seperti yang dikhawatirkan Dr Allan, setidaknya ada rencana tindak yang harus segera diupayakan, yaitu penanganan Illegal Fishing dan Moratorium serta rasionalisasi aktivitas perikanan tangkap.
Pemberantasan illegal fishing mutlak diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada nelayan kita untuk dapat memanfaatkan wilayah perairan secara optimal.
Sementara moratorium diutamakan untuk melindungi ekosistem yang mengalami tekanan dengan membatasi alat tangkap yang bersifat merusak atau menyeimbangkan antara daya dukung biomassa dan intensitas tangkap yang seharusnya diberikan (rasionalisasi) .
Rencana tindak berikutnya adalah merevitalisasi lahan diwilayah pesisir yang masih berpotensi untuk pengembangan budi daya. Bagian penting yang tidak bisa dipisahkan adalah merehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang yang baik akan mampu meningkatkan biomassa ikan (daya dukung).
Dengan demikian, jelas bahwa penurunan stok tidak hanya karena pengaruh dari beban antropogenik (peningkatan CO), tetapi juga karena komponen lingkungan lainnya.
Untuk itu, pola pikir yang perlu dikembangkan dalam mengkaji penurunan stok adalah kerangka logis yang bersifat holistik dengan mengintegrasikan informasi biologi-ekologi ikan, tekanan aktivitas manusia, dan relung sumber daya (sebagai media hidup ikan).
YONVITNER Dosen Laboratorium Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/08/ 02542218/ mengelola. stok.ikan. berkelanjutan
YONVITNER
Dr Alan F Koropitan mengutip laporan Cheung dan kawan-kawan dalam jurnal Global Change Biology, peningkatan CO sampai 720 ppm dapat berdampak pada penurunan 20 persen stok perikanan Indonesia pada 2100.
Penurunan stok ikan kita pada 2100 bukan hanya domain dari peningkatan CO di udara hingga 720 ppm dengan skenario tingkat emisi seperti sekarang.
Perlu ditegaskan, CO hanya merupakan salah satu material antropogenik, baik di udara maupun di perairan, yang dapat berperan esensial bagi makhluk hidup. Keberadaan CO di perairan menjadi penting untuk bekerja fitoplankton dalam proses produksi primer sehingga tropik level dapat bekerja dengan baik.
Dalam konteks proses produksi primer, kebutuhan akan CO penting sebagai bahan pakan bagi tropik level pertama. Sementara sumber daya ikan berada pada level menengah dan tropik atas. Fakta empiris menunjukkan, penurunan stok ikan yang terjadi adalah sebagai fungsi pertumbuhan, perekrutan, mortalitas alami, dan penangkapan, serta pengaruh antropogenik, salah satunya CO.
Indikator biologi ekologi
Penurunan stok ikan dapat dievaluasi dari beberapa indikator biologi-ekologi, seperti biomassa dan ukuran ikan. Penelitian PKSPL IPB tahun 2009 di Perairan Laut Aru dan Banda menunjukkan, ukuran ikan tongkol yang tertangkap pada umumnya sama dengan yang tertangkap Lease, yaitu berukuran 48-54,15 cm (Syahailatua, et al. 1993).
Tangkapan ikan tenggiri ukurannya mencapai 87 cm, cakalang mencapai 50,84 cm. Peluang tangkapan dari potensi ikan tongkol yang berukuran besar masih cukup tinggi di perairan. Adapun ikan cakalang sudah mencapai ukuran maksimum tumbuh di perairan tersebut dan belum mencapai tangkapan maksimum, dan masih ada peluang penangkapan.
Menurut Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), untuk kelompok ikan karang yang mengalami penurunan ukuran dari rata-rata tangkap 50 cm, saat ini dominan tertangkap ukuran 46 cm. Hal ini terjadi karena tingginya intensitas tangkapan di perairan timur Indonesia. Bandingkan dengan penelitian Faunce et al (2002).
Tangkapan ikan kakap merah di Teluk Biscay antara 25-30 cm, lebih rendah dari yang tertangkap di perairan Maluku. Dari penurunan ukuran tangkap ini terbukti bahwa kemampuan biologi ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tangkap telah dibatasi oleh peningkatan intensitas tangkap.
Selain kemampuan tumbuh, faktor lainnya yang memengaruhi stok ikan adalah karakteristik ruaya ikan (migratory species). Secara riil biomassa produksi perikanan tuna tidak mengalami penurunan, tetapi dari segi ukuran memang telah terjadi penurunan. Kondisi ini memberikan bukti bahwa intensitas penangkapan yang tinggi telah menyebabkan turunnya ukuran tangkap ikan tuna.
Sebagai ikan yang melakukan migrasi dalam geografis yang luas, tuna akan selalu berpindah setiap waktu. Perairan laut Indonesia bukanlah tempat permanen dari ikan tuna dunia.
Analisis The Investigation Society of Tuna Fisheries (Sadhori, 1985) di Indonesia menyebutkan, waktu penangkapan tuna Samudra Hindia tidak terfokus pada satu lokasi saja dan selalu terjadi perubahan migrasi bulanan ikan tuna.
Catatan yang mengejutkan diungkapkan peneliti Dr Anthony Lewis dalam National Tuna Congress (Kongres Nasional tentang Tuna) di General Santos City, Filipina, 2009. Disebutkan bahwa migrasi ikan tuna dunia ternyata bermuara ke perairan Maluku Utara. Tentu hal ini memberikan peluang pada peningkatan produksi ikan tuna Indonesia.
Intensitas tangkapan
Fakta empiris bahwa produktivitas penangkapan ikan tuna di Samudra Hindia sebesar 281,2 kg/hari turun menjadi 177 kg/setting (Astuin, 2001). Peningkatan armada mencapai 66 persen, sedangkan rasio penurunan produktivitas tuna hanya sekitar 54 persen.
Artinya, peningkatan armada kapal jauh lebih tinggi dari penurunan hasil tangkapan tuna atau 47 persen penurunan produksi bulanan. Hasil penelitian BRKP 2007 menunjukkan, telah terjadi perubahan ikan pelagis sebagai konsekuensi penyusutan stok (biomassa) dan peningkatan upaya perikanan pukat cincin semiindustri yang tak terkontrol.
Penurunan produksi ikan pelagis diduga akibat alterasi spesies serta kompetisi makanan dan ruang yang menjadi habitat ikan. Tekanan penangkapan tidak seimbang dengan daya pulih stok tersebut. Jumlah kapal aktif dan jumlah trip makin menurun, tetapi jumlah hari operasional di laut meningkat.
Berdasarkan data statistik tahun 2007-2008, produksi perikanan tangkap di laut meningkat 2,71 persen dari 4,73 juta ton tahun 2007 meningkat menjadi 4,86 juta ton pada 2008.
Jumlah kapal penangkap ikan segala ukuran pada 2007 sebanyak 590.314, sedangkan pada 2008 menjadi 590.380 atau meningkat 0,01 persen. Pada 2007, jumlah nelayan perikanan tangkap di laut 2,75 juta jiwa dan 2,77 juta jiwa pada 2008 atau meningkat 0,8 persen.
Pengelolaan berkelanjutan
Untuk melindungi penurunan stok ikan tangkap, seperti yang dikhawatirkan Dr Allan, setidaknya ada rencana tindak yang harus segera diupayakan, yaitu penanganan Illegal Fishing dan Moratorium serta rasionalisasi aktivitas perikanan tangkap.
Pemberantasan illegal fishing mutlak diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada nelayan kita untuk dapat memanfaatkan wilayah perairan secara optimal.
Sementara moratorium diutamakan untuk melindungi ekosistem yang mengalami tekanan dengan membatasi alat tangkap yang bersifat merusak atau menyeimbangkan antara daya dukung biomassa dan intensitas tangkap yang seharusnya diberikan (rasionalisasi) .
Rencana tindak berikutnya adalah merevitalisasi lahan diwilayah pesisir yang masih berpotensi untuk pengembangan budi daya. Bagian penting yang tidak bisa dipisahkan adalah merehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Ekosistem mangrove dan terumbu karang yang baik akan mampu meningkatkan biomassa ikan (daya dukung).
Dengan demikian, jelas bahwa penurunan stok tidak hanya karena pengaruh dari beban antropogenik (peningkatan CO), tetapi juga karena komponen lingkungan lainnya.
Untuk itu, pola pikir yang perlu dikembangkan dalam mengkaji penurunan stok adalah kerangka logis yang bersifat holistik dengan mengintegrasikan informasi biologi-ekologi ikan, tekanan aktivitas manusia, dan relung sumber daya (sebagai media hidup ikan).
YONVITNER Dosen Laboratorium Manajemen Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/03/08/ 02542218/ mengelola. stok.ikan. berkelanjutan
Rabu, 03 Maret 2010
PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA MEMPRIHATINKAN
Monday, 01 February 2010 13:40
JAKARTA (BB) -- Pengelolaan lahan basah untuk berbagai kepentingan ekonomi dengan intrik politik, dipastikan berimbas cukup besar pada lingkungan. Ancaman banjir, penurunan produksi pangan, peningkatan kesurusakan pesisir, akan menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini.
Dipastikan sejak tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove di Indonesia musnah dan beralih fungsi menjadi lahan ekonomi untuk tambak udang, telah mengancam kehidupan ekosistem yang berada di areal lokasi tersebut.
Kehancuran lahan basah di Indonesia, sempat diakui Abdul Halim Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dipicu karena lemahnya kemauan dan tindakan Negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia,”
Beberapa factor yang mengakibatkan lahan basah ini rusak, dikatakan Abdul Halim, karena pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan yang destruktif, praktek akuakultur yang tidak benar, peningkatan pencemaran di laut, terbatasnya konservasi sumber daya, dan pengembangan kebijakan yang menjurus terhadap penggunaan sumber daya laut yang berlebihan.
Abdul Halim menyangkan, pada posisi Indonesia seperti sekarang pemerintah justru mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mengisyaratkan adanya privatisasi kawasan pesisir dan reklamasi pantai dalam skala besar.
Lebih jauh Abdul Halim menerangkan, akibat rusaknya lahan basah bisa dibuktikan dengan peningkatan suhu. Dari tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C. “Ini sangat mengancam kelangsungan hidup ekosistem termasuk manusia itu sendiri,” tegasnya.
Menurtnya, sejauh ini, peran pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan basah terlihat kontraproduktif. Satu sisi turut berpartisipasi aktif dalam konvensi global terkait lahan basah (RAMSAR Convention), namun di sisi yang lain, pemerintah justru memproduksi kebijakan-kebijakan yang justru bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan lahan basah berkelanjutan sebagaimana telah disepakati dalam konvensi Ramsar.
Sementara menjelang hari lahan basah sedunia yang jatuh pada tanggal 2 febuari, besok sejumlah element masyarakat di Jakarta, meminta pemerintah serius dan mau terlibat aktif dalam menangani permasalahan lahan basah ini. Pasalnya, kerusakan lahan basah akan berimbas dan mengancam manusia. (*)
sumber: www.budibach.com
Monday, 01 February 2010 13:40
JAKARTA (BB) -- Pengelolaan lahan basah untuk berbagai kepentingan ekonomi dengan intrik politik, dipastikan berimbas cukup besar pada lingkungan. Ancaman banjir, penurunan produksi pangan, peningkatan kesurusakan pesisir, akan menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini.
Dipastikan sejak tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove di Indonesia musnah dan beralih fungsi menjadi lahan ekonomi untuk tambak udang, telah mengancam kehidupan ekosistem yang berada di areal lokasi tersebut.
Kehancuran lahan basah di Indonesia, sempat diakui Abdul Halim Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dipicu karena lemahnya kemauan dan tindakan Negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia,”
Beberapa factor yang mengakibatkan lahan basah ini rusak, dikatakan Abdul Halim, karena pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan yang destruktif, praktek akuakultur yang tidak benar, peningkatan pencemaran di laut, terbatasnya konservasi sumber daya, dan pengembangan kebijakan yang menjurus terhadap penggunaan sumber daya laut yang berlebihan.
Abdul Halim menyangkan, pada posisi Indonesia seperti sekarang pemerintah justru mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mengisyaratkan adanya privatisasi kawasan pesisir dan reklamasi pantai dalam skala besar.
Lebih jauh Abdul Halim menerangkan, akibat rusaknya lahan basah bisa dibuktikan dengan peningkatan suhu. Dari tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C. “Ini sangat mengancam kelangsungan hidup ekosistem termasuk manusia itu sendiri,” tegasnya.
Menurtnya, sejauh ini, peran pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan basah terlihat kontraproduktif. Satu sisi turut berpartisipasi aktif dalam konvensi global terkait lahan basah (RAMSAR Convention), namun di sisi yang lain, pemerintah justru memproduksi kebijakan-kebijakan yang justru bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan lahan basah berkelanjutan sebagaimana telah disepakati dalam konvensi Ramsar.
Sementara menjelang hari lahan basah sedunia yang jatuh pada tanggal 2 febuari, besok sejumlah element masyarakat di Jakarta, meminta pemerintah serius dan mau terlibat aktif dalam menangani permasalahan lahan basah ini. Pasalnya, kerusakan lahan basah akan berimbas dan mengancam manusia. (*)
sumber: www.budibach.com
Sabtu, 27 Februari 2010
PEMBATASAN ALAT TANGKAP
Solusi Meningkatkan Resilience Terumbu Karang Terhadap Perubahan Iklim (Science Daily).
Oleh: jensi
Larangan atau pembatasan penggunaan alat tangkap tipe tertentu dapat menyelamatkan terumbu karang dan populasi ikan untuk dapat bertahan dari serangan gencar perubahan iklim, demikian studi dari ARC Centre of Excellent Coral Reef Study di Universitas James Cook, Wildlife Conservation Society dan kelompok lainnya.
Tim ilmuwan internasional telah mengusulkan larangan penggunanaan alat tangkap seperti senapan tombak, jebakan ikan, dan jaring pukat pantai, untuk dapat membantu dalam perbaikan pada karang dan populasi ikan yang menurun drastis akibat pemutihan karang.
Di sekeliling dunia, terumbu karang mati dalam kondisi menghawatirkan, akibat adanya peningkatan suhu air laut hasil dari pemanasan global.
Penelitian di Kenya dan Papua New Guinea menunjukkan beberapa tipe alat tangkap memikili potensi lebih untuk merusak karang, ikan karang, dan spesies kunci yang dibutuhkan karang untuk pulih dari setelah kejadian pemutihan atau akibat badai.
“Ini menciptakan bahaya ganda, baik karang maupun tipe ikan karang tertentu. Mereka di ambang kehancuran karena penangkapan berlebih dan ditambah pengaruh yang diakibatkan pemutihan semakin memojokan mereka” jelas Dr Cinner. Hasil pembatasan penggunaan alat tangkap dapat menurunkan kerusakan terumbu, populasi ikan, dan meningkatkan kemampuan untuk menopang kesejahteraan penduduk lokal dalam jangka panjang.
“Dari segi ekologi, respon terbaik untuk pemutihan adalah pendekatan pengelolaan terhadap keberadaan karang dan ikan sepenuhnya. Tetapi hal ini cenderung sulit atau tidak dapat diaplikasikan dengan mudah, terutama pada nelayan miskin di negara berkembang”, kata Dr. Tim McClanahan, co-penulis Wildlife Conservation Society. “Pada area dimana pembatasan penangkapan sulit dilakukan , pengelola terumbu karang tidak memiliki banyak pilihan dan tidak dapat melakukan hal lain selain melihat karang mati dan umumnya tidak pulih kembali.”
“Seleksi pembatasan alat tangkap menawarkan pengelola dan nelayan sebuah daerah tengah, ini dapat berupa mengurangi tekanan pada karang dan ikan yang sementara berada dalam fase pemulihan, sementara itu pula harus disediakan beberapa pilihan untuk keberlangsungan hidup nelayan” kata Dr Cinner. Jalan tengah seperti ini umumnya dipilih oleh nelayan. “Di lain pihak, penelitian menunjukan nelayan lebih memilih larangan total dibandingkan dengan larangan penggunaan alat tertentu, karena kebanyakan nelayan menggunakan beberapa tipe alat jadi mereka masih dapat meghasilkan pendapatan jika salah satu alat yang digunakan dilarang. Mereka lebih cenderung menurut.”
Tim menyelidiki efek dari lima tipe alat yang digunakan pada tipe ikan berbeda: tombak, jebakan, kait dan benang, jaring pukat pantai, dan jaring insang. Mereka mendapati tombak merupakan alat yang berakibat fatal diantara semuanya- untuk karang sendiri, spesies ikan yang mudah terkena adalah ikan yang dibutuhkan karang untuk pulih seperti ikan parrot/kakatua, surgeon, trigger yang bersama bulu babi menekan populasi alga, agar karang dapat tumbuh kembali.
“ Target senapan tombak umumnya adalah spesies yang membantu pemulihan terumbu karang, tetapi akibat yang mengejutkan adalah kerusakan terumbu itu sendiri. Ketika ikan ditombak, umumnya ikan akan bersembunyi di balik terumbu sehingga beberapa nelayan akan menghancurkan terumbu untuk mendapatkannya.”kata Dr Cinner.
Tetapi pada negara berkembang, tombak merupakan senjata memancing yang banyak digunakan oleh nelayan miskin karena pembuatannya murah dan hasilnya tinggi, jadi tombak merupakan sumber penghasilan utama nelayan miskin.
“Anda dapat menentukan kebijakan larangan penggunaan alat sewenang-wenang, tetapi anda perlu untuk mempertimbangkan persoalan seperti keringanan, pilihan lain penangkapan, atau alternatif pencaharian yang berpengaruh terhadap nelayan.” kata Dr Shaun Wilson, co-penulis Departemen Konservasi Lingkungan Australia Barat. “Kunci utama dapat berupa edukasi terhadap nelayan mengenai pentingnya habitat terumbu dan spesies yang berpengaruh terhadap kualitas terumbu dan kebutuhan untuk menseleksi apa yang mereka tangkap. Ini berarti nelayan masih dapat menggunakan alat tangkap yang murah dan efektif tanpa perlu merusak habitat dan menurunkan daya pulih terumbu.”
Jebakan ikan dapat mengenai ikan karang yang rentan dan ikan yang berpeeran dalam pemulihan kondisi karang. Jaring pukat pantai mengenai ikan spesies kunci tidak sebanyak jaring insang, jebakan, atau tombak, tetapi sama merusak karang secara langsung dan mengambil jumlah ikan muda dalam jumlah besar.
“Di lokasi yang tingkat ketergantungan pada sumber daya terumbu karangnya tinggi, tidak mungkin melarang semua alat tangkap ini secara permanen. Dengan menciptaan pembtasan sementara untuk alat tipe tertentu, selama fase pemutihan karang, pengelola terumbu dapat menurunkan tekanan pada karang dan populasi ikan untuk sementara waktu ketika ekosistem terumbu dalam kondisi sensitif, tanpa mengakibatkan kesulitan yang tak semestinya terhadap masyarakat yang bergantung padanya.” kata Dr Cinner
“Tentu saja, ketika kondisi membaik, pengelola dan nelayan tidak perlu untuk menunggu fenomena pemutihan karang te rjadi lalu dilakukan pengaturan alat tangkap. Pengaturan penggunaan alat merupakan ide bagus, terutama di area yang rentan terhadap kejadian pemutihan,” kata Dr Nick Graham, co-penulis. “Penelitian baru menyediakan beberapa ide untuk pengelola mengenai keuntungan larangan alat tangkap tertentu.”
Dr Cinner mengatakan bahwa larangan sementara atau mengadakan pelarangan permanen pada penggunaan berbagai macam alat yang dapat digunakan pada manajemen karang yang secara umum – baik di neara berkembang atau negara maju seperti Great Barrier Reef di Australia.
“Prinsipnya dapat digunakan dimanapun. Hal ini menawarkan baik kepada komunitas maupun pengelola terumbu dengan fleksibilitas yang tinggi. Di sekeliling dunia, semakin banyak komunitas yang peduli dan menciptakan berbagai pilihan sendiri, bagaimana cara melindungi terumbu karang mereka dan mereka dapat mengadakan larangan sukarela pada beberapa alat tangkap.
Diterjemahkan dari Science Daily 21 Juni 2009.
SUMBER: GO BLUE INDONESIA
Oleh: jensi
Larangan atau pembatasan penggunaan alat tangkap tipe tertentu dapat menyelamatkan terumbu karang dan populasi ikan untuk dapat bertahan dari serangan gencar perubahan iklim, demikian studi dari ARC Centre of Excellent Coral Reef Study di Universitas James Cook, Wildlife Conservation Society dan kelompok lainnya.
Tim ilmuwan internasional telah mengusulkan larangan penggunanaan alat tangkap seperti senapan tombak, jebakan ikan, dan jaring pukat pantai, untuk dapat membantu dalam perbaikan pada karang dan populasi ikan yang menurun drastis akibat pemutihan karang.
Di sekeliling dunia, terumbu karang mati dalam kondisi menghawatirkan, akibat adanya peningkatan suhu air laut hasil dari pemanasan global.
Penelitian di Kenya dan Papua New Guinea menunjukkan beberapa tipe alat tangkap memikili potensi lebih untuk merusak karang, ikan karang, dan spesies kunci yang dibutuhkan karang untuk pulih dari setelah kejadian pemutihan atau akibat badai.
“Ini menciptakan bahaya ganda, baik karang maupun tipe ikan karang tertentu. Mereka di ambang kehancuran karena penangkapan berlebih dan ditambah pengaruh yang diakibatkan pemutihan semakin memojokan mereka” jelas Dr Cinner. Hasil pembatasan penggunaan alat tangkap dapat menurunkan kerusakan terumbu, populasi ikan, dan meningkatkan kemampuan untuk menopang kesejahteraan penduduk lokal dalam jangka panjang.
“Dari segi ekologi, respon terbaik untuk pemutihan adalah pendekatan pengelolaan terhadap keberadaan karang dan ikan sepenuhnya. Tetapi hal ini cenderung sulit atau tidak dapat diaplikasikan dengan mudah, terutama pada nelayan miskin di negara berkembang”, kata Dr. Tim McClanahan, co-penulis Wildlife Conservation Society. “Pada area dimana pembatasan penangkapan sulit dilakukan , pengelola terumbu karang tidak memiliki banyak pilihan dan tidak dapat melakukan hal lain selain melihat karang mati dan umumnya tidak pulih kembali.”
“Seleksi pembatasan alat tangkap menawarkan pengelola dan nelayan sebuah daerah tengah, ini dapat berupa mengurangi tekanan pada karang dan ikan yang sementara berada dalam fase pemulihan, sementara itu pula harus disediakan beberapa pilihan untuk keberlangsungan hidup nelayan” kata Dr Cinner. Jalan tengah seperti ini umumnya dipilih oleh nelayan. “Di lain pihak, penelitian menunjukan nelayan lebih memilih larangan total dibandingkan dengan larangan penggunaan alat tertentu, karena kebanyakan nelayan menggunakan beberapa tipe alat jadi mereka masih dapat meghasilkan pendapatan jika salah satu alat yang digunakan dilarang. Mereka lebih cenderung menurut.”
Tim menyelidiki efek dari lima tipe alat yang digunakan pada tipe ikan berbeda: tombak, jebakan, kait dan benang, jaring pukat pantai, dan jaring insang. Mereka mendapati tombak merupakan alat yang berakibat fatal diantara semuanya- untuk karang sendiri, spesies ikan yang mudah terkena adalah ikan yang dibutuhkan karang untuk pulih seperti ikan parrot/kakatua, surgeon, trigger yang bersama bulu babi menekan populasi alga, agar karang dapat tumbuh kembali.
“ Target senapan tombak umumnya adalah spesies yang membantu pemulihan terumbu karang, tetapi akibat yang mengejutkan adalah kerusakan terumbu itu sendiri. Ketika ikan ditombak, umumnya ikan akan bersembunyi di balik terumbu sehingga beberapa nelayan akan menghancurkan terumbu untuk mendapatkannya.”kata Dr Cinner.
Tetapi pada negara berkembang, tombak merupakan senjata memancing yang banyak digunakan oleh nelayan miskin karena pembuatannya murah dan hasilnya tinggi, jadi tombak merupakan sumber penghasilan utama nelayan miskin.
“Anda dapat menentukan kebijakan larangan penggunaan alat sewenang-wenang, tetapi anda perlu untuk mempertimbangkan persoalan seperti keringanan, pilihan lain penangkapan, atau alternatif pencaharian yang berpengaruh terhadap nelayan.” kata Dr Shaun Wilson, co-penulis Departemen Konservasi Lingkungan Australia Barat. “Kunci utama dapat berupa edukasi terhadap nelayan mengenai pentingnya habitat terumbu dan spesies yang berpengaruh terhadap kualitas terumbu dan kebutuhan untuk menseleksi apa yang mereka tangkap. Ini berarti nelayan masih dapat menggunakan alat tangkap yang murah dan efektif tanpa perlu merusak habitat dan menurunkan daya pulih terumbu.”
Jebakan ikan dapat mengenai ikan karang yang rentan dan ikan yang berpeeran dalam pemulihan kondisi karang. Jaring pukat pantai mengenai ikan spesies kunci tidak sebanyak jaring insang, jebakan, atau tombak, tetapi sama merusak karang secara langsung dan mengambil jumlah ikan muda dalam jumlah besar.
“Di lokasi yang tingkat ketergantungan pada sumber daya terumbu karangnya tinggi, tidak mungkin melarang semua alat tangkap ini secara permanen. Dengan menciptaan pembtasan sementara untuk alat tipe tertentu, selama fase pemutihan karang, pengelola terumbu dapat menurunkan tekanan pada karang dan populasi ikan untuk sementara waktu ketika ekosistem terumbu dalam kondisi sensitif, tanpa mengakibatkan kesulitan yang tak semestinya terhadap masyarakat yang bergantung padanya.” kata Dr Cinner
“Tentu saja, ketika kondisi membaik, pengelola dan nelayan tidak perlu untuk menunggu fenomena pemutihan karang te rjadi lalu dilakukan pengaturan alat tangkap. Pengaturan penggunaan alat merupakan ide bagus, terutama di area yang rentan terhadap kejadian pemutihan,” kata Dr Nick Graham, co-penulis. “Penelitian baru menyediakan beberapa ide untuk pengelola mengenai keuntungan larangan alat tangkap tertentu.”
Dr Cinner mengatakan bahwa larangan sementara atau mengadakan pelarangan permanen pada penggunaan berbagai macam alat yang dapat digunakan pada manajemen karang yang secara umum – baik di neara berkembang atau negara maju seperti Great Barrier Reef di Australia.
“Prinsipnya dapat digunakan dimanapun. Hal ini menawarkan baik kepada komunitas maupun pengelola terumbu dengan fleksibilitas yang tinggi. Di sekeliling dunia, semakin banyak komunitas yang peduli dan menciptakan berbagai pilihan sendiri, bagaimana cara melindungi terumbu karang mereka dan mereka dapat mengadakan larangan sukarela pada beberapa alat tangkap.
Diterjemahkan dari Science Daily 21 Juni 2009.
SUMBER: GO BLUE INDONESIA
Jumat, 26 Februari 2010
Polisi Tangkap Empat Trawl
25 Februari 2010, 12:20
* 8 Tersangka dan Barang Bukti Diamankan
LANGSA - Pol Air Polres Langsa bekerja sama dengan Dirpol Air Polda NAD, serta Dinas Kelautan Kota Langsa, Senin (22/2) tengah pukul 00.00 WIB dini hari, berhasil mengamankan empat unit boat pukat trawl bersama delapan orang tersangka dan menyita sejumlah barang bukti berupa jaring pukat langga, di kawasan Perairan Kuala Bayeun, Aceh Timur. Penertiban tersebut menyusul semakin merajelelanya aksi perambahan ekosistem laut, hingga terjadinya perselisihan antara nelayan tradisional daerah setempat derngan boat trawl.
Bersama boat trawl, ikut diamankan delapan awak Boat, yaitu masing-masing, AR (35), FS (22), SB (27), SF (23), H (48), dan SS 19), kesemuanya warga Gampong Sungai Paoh, Kecamatan Langsa Barat. SD (43) warga Gampong Lhok Bani dan IA (55), warga Gampong Alue Beurawe, Kecamatan Langsa Kota.
Saat ini barang bukti empat unit boat pukat trawl telah diamanakan di Markas Pol Air, Kuala Langsa. Sedangkan sejumlah alat tangkap dan delapan awak kapal yang telah ditetapkan menjadi tersangka ini telah diamankan di Mapolres Langsa. Kapolres Langsa, AKBP Drs Yosi Muhamartha, melalui Kasat Reskrim, AKP Galih Indra Giri SIK, kepada Serambi, Selasa (23/2) mengatakan, sejumlah anggota Pol Air bekerja sama dengan dengan Pol Air Polda NAD dan dibantu oleh Dinas Kelautan Kota Langsa, Sejak Minggu (21/2) hingga memasuki Senin (22/2) telah melakukan penertiban kawasan perairan Kota Langsa dan sekitarnya dari aksi perambahan ekosistem laut secara brutal oleh pukat trawl.
Pada Senin (22/2) sekitar pukul 00.00 WIB dinihari berhasil diamankan empat unit boat pukat trawl, di antaranya Boat Camar Laut, Boat Sibolang, Boat Rahmat, dan Boat Potana, di kawasan perairan antara perbatasan Kota Langsa dan Aceh Timur, tepatnya di sekitar Pantai Kuala Bayeun. Selain itu pula pihak berwajib berhasil menyita berbagai alat tangkapan ikan dan udang berkapasitas pukat trawl atau pukat harimau.
Sebelumnya diberitakan, nelayan tradisional di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa harus menjerit karena hasil tangkapannya menurun drastis. Kondisi yang terus terjadi sejak 2008, akibat kian merajalelanya penggunaan trawl atau pukat harimau. Namun, kondisi itu terus berlangsung hingga sekarang, dan tidak ada suatu penanganan konkrit yang dilakukan pihak terkait.
Saiful, seorang nelayan di Gampong Seuriget, Kecamatan Langsa Barat, kepada Serambi, Senin (1/2), mengatakan, sejak tahun 2008 lalu hasil tangkapan sekitar 300 nelayan wilayah Langsa Barat menurun drastis. Selain itu juga sejumlah nelayan terpaksa gulung tikar dan beralih ke usaha lainnnya akibat tak mampu memenuhi kebutuhan perawatan Boat, karena pendapatan sehari-hari mereka tidak seimbang dengan hasil tangkapan lautnya.(c42)
Sumber: serambinews.
* 8 Tersangka dan Barang Bukti Diamankan
LANGSA - Pol Air Polres Langsa bekerja sama dengan Dirpol Air Polda NAD, serta Dinas Kelautan Kota Langsa, Senin (22/2) tengah pukul 00.00 WIB dini hari, berhasil mengamankan empat unit boat pukat trawl bersama delapan orang tersangka dan menyita sejumlah barang bukti berupa jaring pukat langga, di kawasan Perairan Kuala Bayeun, Aceh Timur. Penertiban tersebut menyusul semakin merajelelanya aksi perambahan ekosistem laut, hingga terjadinya perselisihan antara nelayan tradisional daerah setempat derngan boat trawl.
Bersama boat trawl, ikut diamankan delapan awak Boat, yaitu masing-masing, AR (35), FS (22), SB (27), SF (23), H (48), dan SS 19), kesemuanya warga Gampong Sungai Paoh, Kecamatan Langsa Barat. SD (43) warga Gampong Lhok Bani dan IA (55), warga Gampong Alue Beurawe, Kecamatan Langsa Kota.
Saat ini barang bukti empat unit boat pukat trawl telah diamanakan di Markas Pol Air, Kuala Langsa. Sedangkan sejumlah alat tangkap dan delapan awak kapal yang telah ditetapkan menjadi tersangka ini telah diamankan di Mapolres Langsa. Kapolres Langsa, AKBP Drs Yosi Muhamartha, melalui Kasat Reskrim, AKP Galih Indra Giri SIK, kepada Serambi, Selasa (23/2) mengatakan, sejumlah anggota Pol Air bekerja sama dengan dengan Pol Air Polda NAD dan dibantu oleh Dinas Kelautan Kota Langsa, Sejak Minggu (21/2) hingga memasuki Senin (22/2) telah melakukan penertiban kawasan perairan Kota Langsa dan sekitarnya dari aksi perambahan ekosistem laut secara brutal oleh pukat trawl.
Pada Senin (22/2) sekitar pukul 00.00 WIB dinihari berhasil diamankan empat unit boat pukat trawl, di antaranya Boat Camar Laut, Boat Sibolang, Boat Rahmat, dan Boat Potana, di kawasan perairan antara perbatasan Kota Langsa dan Aceh Timur, tepatnya di sekitar Pantai Kuala Bayeun. Selain itu pula pihak berwajib berhasil menyita berbagai alat tangkapan ikan dan udang berkapasitas pukat trawl atau pukat harimau.
Sebelumnya diberitakan, nelayan tradisional di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa harus menjerit karena hasil tangkapannya menurun drastis. Kondisi yang terus terjadi sejak 2008, akibat kian merajalelanya penggunaan trawl atau pukat harimau. Namun, kondisi itu terus berlangsung hingga sekarang, dan tidak ada suatu penanganan konkrit yang dilakukan pihak terkait.
Saiful, seorang nelayan di Gampong Seuriget, Kecamatan Langsa Barat, kepada Serambi, Senin (1/2), mengatakan, sejak tahun 2008 lalu hasil tangkapan sekitar 300 nelayan wilayah Langsa Barat menurun drastis. Selain itu juga sejumlah nelayan terpaksa gulung tikar dan beralih ke usaha lainnnya akibat tak mampu memenuhi kebutuhan perawatan Boat, karena pendapatan sehari-hari mereka tidak seimbang dengan hasil tangkapan lautnya.(c42)
Sumber: serambinews.
Langganan:
Postingan (Atom)