Saturday, 13 March 2010 03:44
Denpasar, 12/3 (Antara/FINROLL News) - Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengimbau Pemerintah Kabupaten/Kota yang berwilayah pesisir agar mewaspadai potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
"Pascapermohonan gugatan uji materi Undang-Undang ini di Mahkamah Konstitusi, Kamis lalu, membuktikan hal ada persoalan krusial yang mesti dituntaskan terlebih dahulu, sebelum pemerintah menggunakan instrumen UU tersebut dalam kebijakan daerah," kata Abdul Halim, koordinator Program KIARA, kepada ANTARA, di Denpasar, Jumat petang.
Dia menyatakan, potensi bahaya pemberlakuan UU Nomor 27/2007 itu semakin kental karena perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih bersifat sektoral.
"Oleh karena itu, kami mengimbau pemerintah daerah untuk menghentikan pelbagai upaya hukum berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini," katanya.
Berdasarkan data jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia pada 2002, terdapat 219 kabupaten dan kota atau sama dengan 68 persen wilayah pemerintahan di Indonesia yang memiliki wilayah pesisir, yang terus tumbuh pascaberkembangnya pemekaran wilayah belakangan ini.
Tiap-tiap pesisir Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya. Perlu perhatian yang berbeda pula untuk mengelola wilayah pesisir tersebut.
Jika demikian, katanya, kebijakan dan instrumen kelembagaan yang dirumuskan pun juga tak bisa disamakan di semua wilayah Indonesia. Pula disebabkan perbedaan karakteristik ekonomi-politik dan sosial-budaya yang dijalani oleh masyarakat pesisir di pelbagai wilayah.
"Sebaliknya, pemerintah melalui Undang-Undang ini tidak mengindahkan keragaman karakter wilayah pesisir, dengan mendorong komersialisasi perairan pesisir," katanya.
Ketiadaan keterkaitan kebijakan publik dengan hajat hidup masyarakat kian mempertegas kesembronoan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dia memberi contoh, di Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Bengkulu, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dihadapkan pada keberadaan perusahaan tambang pasir besi yaitu PT Selomoro Banyu Arto yang mengganggu pola penghidupan mereka.
Sebelum perusahaan besar itu beroperasi, dalam tempo lima hingga enam jam per hari pada malam hari, nelayan penangkap udang alam bisa memperoleh pendapatan antara Rp60.000-Rp200. 000.
Sebaliknya, sejak perusahaan tambang pada 2008 beroperasi dan melakukan pembendungan muara sungai, sangat sulit bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan uang sebesar Rp20.000 dari hasil menangkap udang alam.
"Bertolak dari fakta di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menutup mata atas persoalan di daerah. Seperti terurai dalam UU Nomor 27/2007 tentang PWP3K, pemilik modal boleh melakukan privatisasi dan eksploitasi SDA pesisir dan laut selama 60 tahun," katanya.
Sumber: http://www.news. id.finroll. com/rilis- press/236673- kiara-uu- pesisir-simpan- potensi-bahaya. html
Jumat, 12 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar