Minggu, 11 Oktober 2009

LUMBA - LUMBA : DI LAUT PERSAHABATAN TAMAT



Potongan Daging Lumba - Lumba di Pasar (GATRA/Abdul Aziz)LUMBA-lumba sebagai sahabat manusia tampaknya hanya mitos belaka. Setidaknya itulah yang berlaku di Bagan Siapiapi, Riau. Nelayan yang semula bersahabat dan enggan mengusik mamalia laut itu, karena dipercaya suka menolong manusia, kini berubah sikap. Satwa cerdas yang kerap dilatih untuk beratraksi di berbagai tempat wisata itu diburu. Dagingnya dipercaya berkhasiat sebagai obat kuat.

Adalah Forum Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam (KPSA) Riau yang melansir maraknya perburuan lumba-lumba di perairan sekitar Bagan Siapiapi, Ahad dua pekan lalu. Menurut Ketua KPSA, Bismark Tampubolon, tiap pekan tak kurang dari lima ekor lumba-lumba ditangkap. Hewan itu kemudian dijual kepada nelayan Singapura, Malaysia, dan Thailand. "Harganya Rp 500.000 per ekor yang berukuran 100 kilogram," kata Bismark.

Belakangan, daging lumba-lumba juga dijajakan di pasar lokal, khususnya di Bagan Siapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, sekitar 300 kilometer selatan Pekanbaru. Peminatnya rupanya terus meningkat dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan, demikian kata sejumlah pedagang di Pasar Bagan Hulu, pasar ikan terbesar di kota itu, daging lumba-lumba laris manis.

Udin, 30 tahun, pedagang ikan di Bagan Hulu, mengaku membeli daging lumba-lumba dari nelayan seharga Rp 10.000 per kilogram. Daging siap masak itu ia jual lagi seharga Rp 15.000 hingga Rp 16.000. Bandingkan dengan harga daging tongkol yang cuma Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per kilogram. "Karena hasil tangkapan nelayan terbatas, seminggu saya cuma bisa menjual 250 kilo daging lumba-lumba," kata Udin.

Maraknya penjualan daging lumba-lumba itu membuat gerah Andreas Heri Kahuripan. Ketua Lembaga Pengkajian Hutan Indonesia (LPHI) wilayah Riau itu mengaku sangat prihatin. "Hewan itu banyak diburu di perairan Pulau Halang, Pulau Sinaboi, dan Teluk Lumba-lumba," kata Andreas.

Para cukong, menurut Andreas, kemudian membawanya ke Pulau Jemur, enam jam dengan perahu motor dari Bagan Siapiapi. Dari sana, hewan tangkapan itu diangkut ke Singapura. Mereka kabarnya mengekspor daging lumba-lumba itu ke Malaysia, Cina, bahkan Eropa. Selain dagingnya, bagian yang dipercaya berkhasiat, antara lain, sirip ekor dan hati. Tapi hingga kini, tak ada hasil penelitian yang membuktikannya.

Iskandar, seorang nelayan di Bagan Siapiapi, menuturkan bahwa lumba-lumba biasanya tak pernah ditangkap meski tersangkut jaring. "Hewan itu bikin kesal, sebab jika tersangkut, merusak jaring," katanya. Celakanya, lumba-lumba yang sudah terluka biasanya tak berumur panjang. "Besok atau lusanya pasti ditemukan mati," kata Iskandar.

Lima tahun terakhir, ujar Iskandar, banyak bandar dari Singapura datang ke Bagan Siapiapi memesan daging lumba-lumba. Harganya pun menggiurkan. Sejak itulah, perburuan marak dilakukan. Masyarakat pun mulai mencoba-coba daging mamalia ini. "Dagingnya ternyata bisa memanaskan badan," kata Syahminan, warga Bagan Siapiapi.

Yang cemas bukan hanya LPHI. Kepala Dinas Perikanan Rokan Hilir, Amrizal, pun ketar-ketir. Soalnya, lumba-lumba termasuk hewan yang dilindungi. Karena itu, lembaga swadaya masyarakat Greenpeace pernah memprotes nelayan Jepang yang sering memotong ekor lumba-lumba jika terjerat jaring. Sebab, hewan yang terluka dan cacat itu pasti tak berumur panjang.

Lumba-lumba yang hidup di perairan Bagan Siapiapi diduga punya wilayah jelajah hingga ke Teluk Benggala di sisi utara Lautan Hindia hingga Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. "Kami akan melakukan sosialisasi untuk menghentikan perburuan lumba-lumba," kata Himawan, Koordinator Perlindungan Satwa, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau.

Bahtrim, pengurus Lembaga Adat Melayu Bagan Siapiapi, menyatakan bahwa masyarakat Sungai Rokan sebenarnya diharamkan makan daging lumba-lumba. Pria 60 tahun, warga Jalan Bahagia, Bagan Siapiapi, itu menuturkan sebuah legenda tentang Cik Sulaeman. Konon, pahlawan Sungai Rokan itu pernah ditolong oleh lumba-lumba ketika berperang di laut melawan penjajah Portugis, enam abad silam. "Sejak itu, Cik Sulaeman melarang anak-cucunya membunuh lumba-lumba," kata Bahtrim. Sejauh itu pula lumba-lumba hidup aman, bersahabat dengan para nelayan.

Apa lacur, kini nelayan Sungai Rokan hanya menganggap cerita itu sebagai dongeng lama.

Sumber: Gatra.Com

Tidak ada komentar: