Selasa, 9 Juni 2009 | 09:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian ikan fosil purba coelacanth di perairan Manado, Sulawesi Utara, tahun 2009 ini direncanakan dilaksanakan pada bulan Juli. Tim dari Fukushima Aquamarine Jepang, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado, akan bergabung.
”Kami sedang mengurus kedatangan peralatan, termasuk wahana bawah laut tanpa awak,” kata Direktur Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Augy Syahailatua di Jakarta, Senin (8/6). Rencananya, penelitian itu akan difokuskan di kawasan perairan Manado tua, lokasi penemuan coelacanth oleh nelayan dua tahun lalu.
Penelitian bersama tersebut merupakan penelitian rutin tahunan. Tahun 2008, dari puluhan jam penyelaman selama dua pekan, tak satu pun ikan purba tertangkap gambar melalui wahana khusus.
Tahun 2007, dari 92 kali pengoperasian wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle) selama 52 jam 55 menit, hanya sekali perjumpaan di perairan Malalayang, Manado, selama 32 menit di kedalaman hampir 200 meter.
Pihak Aquamarine Fukushima, Jepang, mengakui, mereka sangat berminat mengetahui seluk-beluk ikan fosil purba, mulai dari karakter habitat hingga perilakunya. Karena itu, mereka rutin mengadakan ekspedisi selam dalam atau seminar mengenai coelacanth.
Peneliti ikan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Agus H Tjakrawidaja, mengatakan, Jepang sangat berminat mengoleksi ikan fosil purba yang hanya hidup di perairan Sulawesi Utara, Indonesia, dan pesisir barat Afrika itu.
Bahkan, pernah ada upaya dari Jepang untuk memiliki spesimen basah ikan purba, yang kini dikoleksi di Puslit Biologi, LIPI. Namun, upaya itu gagal karena ada keberatan dari peneliti.
Tabir evolusi
Ketertarikan dunia terhadap coelacanth di antaranya karena misteri evolusinya. Para ahli yakin coelacanth tidak berevolusi selama ratusan juta tahun.
Hal itu pula yang membuat Aquamarine Fukushima tertarik mengoleksinya, baik hidup maupun mati. Agus mengakui, banyak hal yang belum diketahui mengenai ikan tersebut.
Popularitas ikan fosil purba itu melonjak tahun 1998 ketika pasangan peneliti dari AS menjumpai coelacanth di pasar ikan Manado. Informasi itu segera menyebar ke seluruh dunia.
Menurut Augy, karakteristik bawah laut Sulawesi Tengah (Tolitoli) hingga Biak sangat cocok dengan coelacanth. Namun, data ilmiah masih minim.
GSA
Kamis, 25 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)