Sebuah spanduk besar bertuliskan “Mana kapal yang lain?” dipajang di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan. Spanduk yang juga menampilkan gambar sang menteri berkacamata hitam dengan latar belakang perahu terbakar menegaskan sikap Indonesia dalam hal pencurian ikan.
Susi Pudjiastuti adalah pilihan tak lazim untuk memimpin kementerian tersebut. Namun, tindakannya menghancurkan kapal-kapal pencuri ikan yang tertangkap di perairan Indonesia menjadi indikasi pemerintahan baru.
Dan langkah sang menteri bukan tanpa alasan. Kerugiaan dari pencurian ikan sulit dikalkulasi. Namun, tinjauan bersama yang dilakukan pada 2009 oleh kementerian dan Perserikatan Bangsa-bangsa menaksir bahwa Indonesia dirugikan sekitar $2 miliar per tahun. Angkanya mungkin sejak itu bertambah.
Karena itu, pada Januari, kementerian melarang penggunaan pukat. Volume pencurian ikan pun berkurang, baik yang dilakukan oleh nelayan asing maupun Indonesia. Namun, kapal-kapal nelayan miskin yang menggunakan pukat versi lebih kecil pun terdampak.
Pembatasan pencurian ikan adalah kebijakan bagus. Namun, kerugian dari praktik tersebut lebih kecil ketimbang miliaran dolar lain yang bisa diselamatkan dengan mengurangi praktik penangkapan ikan berlebih.
Bagi pemerintah baru Indonesia yang ingin meningkatkan produktivitas dan daya saing global, perikanan harus menjadi sektor yang produktif dan tidak hanya menangguk sumber daya alam. Hal demikian membutuhkan reformasi menajemen lebih terperinci daripada hanya menggulirkan regulasi dan larangan.
Salah satu aturan adalah menetapkan ukuran minimum lobster yang dapat ditangkap guna menghindari penangkapan lobster anakan yang dapat dikembangkan di luar negeri dan akan bernilai jual tinggi. Namun, aturan itu juga berlaku di Indonesia, yang ujungnya mengganggu program pengembangan masyarakat yang menjanjikan di Nusa Tenggara Barat.
Larangan lain adalah praktik pengalihan muatan barang antarkapal di laut (transshipment). Namun, aturan itu pun memengaruhi nelayan lokal skala kecil yang memanfaatkan perahu pengepul untuk mengirimkan hasil tangkapan mereka ke pasar setempat.
Moratorium terbaru atas izin penangkapan ikan bagi kapal yang dirakit di luar Indonesia kemungkinan akan mendorong industri perakitan kapal domestik. Namun, kebanyakan nelayan skala kecil telah membeli atau membuat sendiri perahu dan hal demikian tak mengangkat mereka keluar dari kemiskinan serta utang.
Reformasi yang baru dijalankan ini dapat dimengerti menyusul sulitnya menegakkan aturan–hal yang selalu terjadi di masa lampau. Penangkapan ikan menjadi sektor terakhir yang menawarkan lapangan kerja. Pelarangan atas pemakaian alat tertentu akan lebih banyak membuat orang miskin melaut.
Meski demikian, menciptakan lapangan kerja berbeda dari menciptakan kekayaan dan modal. Yang pertama takkan meningkatkan jumlah pangan atau uang di masyarakat miskin desa pesisir yang terlanjur berada dalam jeratan utang dan ketiadaan akses modal.
Bahkan, perbankan Indonesia yang khusus mengurusi pembiayaan mikro pun berhati-hati dalam mendanai nelayan skala kecil akibat kurangnya transparansi dan jaminan. Ujungnya, para nelayan biasanya bersandar kepada para pembeli dan tengkulak dalam urusan pembiayaan. Dalam beberapa kasus, hubungan antara nelayan dan rentenir saling menguntungkan. Tapi, dalam kasus lain, yang muncul adalah semacam praktik kuli kontrak.
Mencari cara bagi nelayan untuk mendapatkan uang dari sumber daya laut adalah pendekatan menjanjikan, tapi ruwet. Problemnya adalah bagaimana akses menuju sumber daya itu dibuka: tiada batasan mengenai siapa yang menangkap ikan, atau seberapa banyak tangkapan yang dihasilkan.
Masalah ini tak memiliki instrumen penyelesaian yang gamblang. Namun, jika hanya berpangku tangan, profitabilitas mungkin akan berseberangan dengan keberlangsungan.
Pembakaran kapal nelayan adalah pertunjukan dramatis dan menekan pencurian ikan menjadi kebijakan baik. Namun, larangan penggunaan alat tangkap tertentu takkan berlangsung lama.
Indonesia berpeluang meningkatkan perekonomian dan kesehatan lingkungan. Namun, negeri ini perlu reformasi yang berujung pada formasi modal, pengadaan kekayaan, dan penghargaan terhadap praktik tradisional yang berhasil memelihara sumber daya.
Michael de Alessi adalah ilmuwan riset di School of Aquatic and Fishery Sciences, University of Washington, dan penerima Fulbright Indonesia Senior Scholarship.